Oleh: Agustinus Giai*
Budaya barapen dalam suku-suku di Papua telah ada sejak ratusan tahun lalu. Budaya barapen ini tidak hanya terdapat dalam khazanah estetika tata boga budaya orang Papua saja, tetapi juga ada dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain di kawasan Melanesia.
Keberadaannya memberi nilai dalam kekayaan intelektual filosofis budaya Melanesia. Nilai kebersamaan, persatuan dan perdamaian yang terkandung didalamnya, adalah hal yang membuat dia hidup hingga sekarang, dalam kehidupan bermasyarakat di Papua.
Tulisan ini akan mengulas fenomena etno termodinamika yang terjadi di dalam fenomena pemasakan barapen atau dalam bahasa suku Mee di Meepago disebut dengan duwadakimai. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran singkat dari aspek termodinamik (ilmu perpindahan panas) dan menjawab pertanyaan seperti apa saja proses perpindahan panas yang terjadi. Dan bagaimana uap panas dari batu panas dapat memasakkan makanan hingga matang.
Penulis berterima kasih kepada tiga mahasiswa Teknik Mesin Universitas Cenderawasih (Uncen), yang dalam dua tahun belakangan menyelesaikan tugas akhirnya, dengan fokus penelitian barapen. Dan berusaha menjawab persoalan-persoalan termodinamik dalam prosesi pemasakannya.
Dengan latar belakang suku yang berbeda, ketiga mahasiswa ini memberikan penyajian prosesi pemasakan yang berbeda pula. Tentunya dari aspek ilmiah ini menjadi menarik untuk diulas lebih lanjut.
Dalam ilmu termodinamika pada institusi formal diperkenalkan tiga jenis perpindahan panas, yaitu perpindahan panas secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui zat perantara tanpa diukuti melalui zat perantara tersebut. Misalnya jika sebuah batang besi dipanaskan di satu sisi dan di sisi lain akan ikut panas.
Kemudian perpindahan panas secara konveksi terjadi melalui perantara partikel (gas atau fluida) yang bergerak dari satu sisi dengan temperatur rendah ke temperatur tinggi (terjadi tanpa kontak langsung ke sumber panas).
Perpindahan panas konveksi terjadi secara alami dan paksa. Konveksi alami terjadi tanpa adanya bantuan faktor eksternal. Sedangkan konveksi paksa terjadi akibat faktor eksternal, misalnya, penggunaan kompresor atau pemompaan ban kendaraan. Contoh lainya pada perebusan air. Sedangkan radians adalah perpindahan panas yang langsung rasakan tanpa zat perantara. Contohnya, sinar matahari yang panasnya langsung dirasakan (Carbe, 2013).
Untuk menjelaskan fenomena di atas, beberapa penelitian yang berkaitan dengan kasus ini telah dikerjakan oleh mahasiswa/i dalam bentuk tugas akhir dari Jurusan Teknik Mesin Uncen.
Pertama, yang dilakukan oleh F. Tekege (2020) dengan yang mengambil kesimpulan, bahwa dengan penempatan posisi termokopel pada setiap lapisan makanan memberikan gambaran akan akumulasi energi yang terus naik, hingga pada titik tertentu temperatur tersebut akan konstan. Artinya, panas per waktu aktual waktu hampir konstan.
Yang kedua oleh B. Wenda (2023) yang dilakukan dengan metode eksperimen, menyimpulkan bahwa batu yang menjadi sumber panas mengeluarkan panas, untuk memasak makanan yang terdapat dalam kolam secara konveksi alami.
Penelitian terakhir dilakukan oleh M. Kah (2023) yang berkesimpulan bahwa perpindahan panas di dalam kolam pemasakan adalah konveksi alami. Dia juga menyimpulkan bahwa konveksi alami secara efektif terjadi pada bagian lapisan tengah kolam pemasakan.
Ketiga penelitian pada prinsipnya menggunakan alat dan bahan yang sama, yaitu bahan makanan yang digunakan adalah sayur daun petatas (ubi), umbi-umbian, dan daging ayam. Sedangkan sebagai sumber panas dipilih batuan kali, yang dibakar terlebih dahulu pada bara api yang telah disiapkan.
Proses masaknya cukup mudah. Pertama-tama batu yang ada dipanaskan dengan bara api. Sambil batu dipanaskan, dedaunan sebagai lapisan luar mulai diletakkan dalam kolam pemasakan. Kemudian lapisan batu pertama diletakkan pada dasarnya dan diikuti oleh umbi-umbian di lapisan berikut.
Lapisan berikut adalah batu, daging plus sayur-sayuran, dan lapisan terakhir adalah sayur-sayuran dan umbian lembek lainnya. Kemudian ditutup dengan lapisan dedauan tadi.
Proses transfer panas konduksi dan konveksi alami dalam pemasakan barapen
Dalam proses barapen, batu yang dibakar menjadi sumber panas untuk memasak makanan dalam kolam pemasakan. Batu panas ini kemudian dimasukkan ke dalam lapisan pemasakan secara acak dalam beberapa lapisan (penulis mengilustrasikan lima lapisan).
Lapisan pertama terdiri dari batu panas yang secara konduktif mentransfer panas QKonddari inti batu hingga ke lapisan luar batu. Proses transfer panas secara konvektif alami QKonv terjadi antara batu dan makanan yang terdapat dalam lapisan II-V.
Antara lapisan kedua dan ketiga diletakkan ubi (umbi-umbian). Kemudian di lapisan selanjutnya batu panas diletakkan secara random. Pada umumnya lapisan ke III-IV terdapat sayuran dan daging. Dan lapisan terakhir (ke-V) pada umumnya sayuran dan masakan berupa jagung atau makanan sejenisnya yang mudah masak.
Prose transfer panas secara konduktif dan konverktif alami berlangsung selama proses pemasakan yaitu selama satu hingga dua jam. Dari aspek termokimia (perubahan fisika dan reaksi kimia), proses penyerapan dan pelepasan panas terjadi pada makanan yang dimasak. Di awal makanan yang dimasak menerima panas dari batu panas, sehingga inti dari makanan (isi dalam) menjadi panas.
Atau dengan kata lain, ada gradien temperatur sama dengan kesimbangan temperatur antara permukaan luar dan inti batu. Kemudian setelah energi termal pada batu panas mengalami penurunan, maka melalui pembukaan pori-pori makanan panas yang tadinya diserap kemudian dilepaskan keluar. Sehingga kondisi kesetimbangan energi termal dalam bungkusan pemasakan hampir seimbang.
Sebagai akhir dari tulisan ini, beberapa saran dalam memasak dengan barapen menjadi perhatian penting. Yang pertama berkaitan dengan jenis batu yang digunakan dalam pemasakan. Setiap batu memiliki densitas dan kapasitas panas yang berbeda, yang kemudian akan mempengaruhi gradien temperatur.
Oleh karena itu, dalam pemilihan batu nilai kedua faktor wajib tinggi.
Yang berikut jumlah batu yang digunakan dalam proses pemasakan sebaiknya disesuaikan dengan kuantitas makanan. Wadah pemasakan dalam sebaiknya diisolasi sebaik mungkin, untuk mengurangi kerugian termal (energi panas) yang berlebihan. Penggunaan alang-alang atau daun pisang juga perlu diperhatikan ketebalannya.
Teknologi pemasakan dengan menggunakan batu panas perlu menjadi konsentrasi universitas-universitas teknik di Papua, agar dapat menghasilkan produk pemasak yang bernuansa budaya, tanpa menghilangkan nilai filosofi itu sendiri. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Program Studi Teknik Sistem Energi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Internasional Papua
Discussion about this post