Oleh: Maximus Sedik*
Usaha pembangunan dan modernisasi memperhadapkan masyarakat Tambrauw secara langsung, terutama dengan masalah kebudayaan orang asli suku Miyah dan Ireres di pegunungan Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya. Dan proses kebudayaan itu memperbaharui diri untuk menjawab tantangan-tantangan kehidupan modern.
Penghadapan itu seharusnya telah menimbulkan suatu diskusi yang sangat penting di kalangan generasi Tambrauw, tentang perlunya mempertahankan kepribadiannya dalam menghadapi problem-problem sosial yang sangat luas dan mendalam, berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat suku Miyah dan Ireres.
Kita menghadapi pengaruh kebudayaan dari luar dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan, serta yang paling penting adalah komunikasi massa melalui bahasa.
Masyarakat Miyah dan Ireres baru tersentuh dunia luar melalui agama, khususnya agama Katolik. Ini berpengaruh langsung dan menggerakkan basis sosial kemasyarakatan mereka, menuju pada era dimana manusia harus “sekolah” untuk memahami, dan mengetahui pengetahuan bercorak Eropa sentris di zaman Belanda dan Jawa sentris era Indonesia.
Kita diarahkan untuk menyesuaikan diri dalam segala aspek modern.
Kita mendeteksi adanya doktrin kebenaran dalam aspek teori pembangunan dan standarisasi kehidupan. Berpengaruh pada aspek paling vital, terutama diskriminasi pada pangan, makan nasi disebut sejahtera dan makmur. Bila makan ubi dan sagu dipandang terbelakang dan miskin. Atau memakai cawat (pakaian adat masyarakat adat kepala burung Papua) dipandang primitif.
Cara pandang ini tidak terpisah begitu saja. Namun ada korelasinya dengan pandangan kolonialisme dalam aspek sosio-antropologi orang Papua secara umum, dan secara khusus suku Miyah dan Ireres di Tambrauw-Papua Barat Daya.
Rumusan yang tepat untuk membangun strategi untuk mampu membimbing masyarakat suku Miyah dan Ireres yang menghadapi proses modernisasi dan pembangunan, sehingga menjaga dan memperkuat diri manusia dan kebudayaan di era postmodernisme. Membangun basis kebudayaan yang kuat secara praktek maupun basis ilmu pengetahuannya, sehingga kita mampu berdiri di atas kaki sendiri menjadi suku-bangsa yang kuat.
Pendidikan inisiasi berkembang dalam kehidupan masyarakat Papua. Dari cerita dan beberapa literatur tentang Papua, para antropolog tidak begitu masuk lebih mendalam untuk melakukan riset-riset. Akan etapi, mengambil kesimpulan yang beda-beda, baik itu fisik manusia, cara bertani, cara menyelesaikan masalah, hukum adat dan lainnya. Tetapi mereka begitu tidak mendalamu dunia manusia Papua yang berelasi dengan alam supranatural masyarakat di pegunungan Tambrauw.
Masyarakat pegunungan Tambrauw menyimpan cerita-cerita lisan yang masih misteri. Gunung, batu, sungai dan semua isi alam raya itu menurut mereka bernyawa, bukan benda mati. Hal ini berkaitan langsung dengan cara pandang dan hubungan keterkaitan antara manusia Tambrauw pada umumnya dalam memandang alam dan secara khusus suku Ireres dan Miyah.
Alam bukan tempat kosong seperti istilah tanah tak bertuan dan tanah negara. Masyarakat suku Miyah dan Ireres, membangun kehidupan berdasarkan hukum alam dan hukum adat. Bila itu dilanggar, maka ada sanksinya seperti musibah bencana alam dan saling melakukan denda adat, karena anggota keluarga yang melanggar ketentuan berlaku.
Pengetahuan dibangun secara lisan dan diwariskan secara turun-temurun, berjalan sejak manusia-manusia kedua suku ini membangun kehidupannya.
Yang belum ada di suku Ireres dan Miyah sebelum dunia luar masuk adalah budaya tulisan, selain itu semua sudah ada, hidup dan mengakar hingga saat ini. Seperti, arsitektur bangunan, cara bercocok tanam, beternak, menyelesaikan masalah, menyembuhkan orang sakit, cacat dan pengetahuan lisan lainnya.
Bangsa luar menang atas bangsa Papua karena membawa budaya tulisan, terutama melalui kitab suci dan nyanyian rohani. Sehingga meletakkan dasar pergerakan dari lisan ke tulisan. Dan diikutsertakan dengan ajaran-ajaran lain, salah satunya adalah teori-teori yang diskriminatif, terutama tentang cara pandang.
Inisiasi (dalam bahasa Miyah disebut Wuon dan Ireres disebut moiys) pendidikan diajarkan kepada para laki-laki dewasa. Prosesnya rumit dan tidak sembarang masuk, tetapi melalui seleksi yang ketat.
Pertama-tama yang diseleksi adalah pantangan dalam mengkonsumsi makanan, ketekunan, dan lain-lain. Bila memenuhi syarat itu, maka dia layak untuk sekolah di alam bebas tanpa dilihat oleh keluarga, anak dan istri.
Dalam prosesnya banyak hal yang tidak boleh dikonsumsi. Makanan dikonsumsi secukupnya, dan lain-lain, karena mengandung nilai kesakralan.
Pendidikan ini juga berlaku bagi kaum perempuan. Namun bagi perempuan berlaku enam bulan hingga satu tahun dan laki-laki satu tahun hingga lima tahun.
Proses itu berlaku secara lisan dan tidak tertulis. Ini menunjukkan kemampuan dalam ingatan dan memahami dalam kalangan suku Ireres dan Miyah sangat kuat, baik mereka yang mengikuti proses inisiasi (wuon), maupun orang yang mendiami kedua suku ini.
Banyak hal yang dapat diajarkan selama proses pendidikan, seperti, nilai-nilai moralitas, spiritualitas, kedewasaan, pertanggungjawaban dan nilai kemanusian maupun nilai-nilai sosial yang saling berkaitan. Tujuannya untuk membangun pola hidup yang taat pada alam dan manusia, keterhubungan antara alam dengan manusia, maupun manusia dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dampaknya dalam kehidupan masyarakat, mereka yang telah selesai mengikuti pendidikan inisiasi sangat berwibawa dalam menghadapi masalah apapun, dan dapat membantu sesama yang menderita, melalui ucapan-ucapan (po tigief). Dan itu terbukti menyembuhkan orang sakit dan perempuan mengalami kendala dalam melahirkan.
Manusia Tambrauw secara umum mengenal pendidikan wuon untuk laki-laki dan perempuan. Suku-suku di Tambrauw mengenal tradisi yang sering disebut dalam bahasa Miyah, yaitu mber wuon untuk laki-laki dan metie kre untuk perempuan.
Miyah, Ireres, Abun dan Mpur adalah empat suku yang memiliki kebiasaan pendidikan wuon dan fenia meroh.
Namun, pendidikan ini mulai mengalami kemunduran. Penyebabnya adalah para pendidik yang sudah meninggal, pandangan agama bahwa itu adalah ajaran sesat, dan pengaruh pembangunan yang menggerakkan makna hidup keempat suku ini.
Pengaruh lain juga, seperti, rasa memiliki dalam diri generasi muda Tambrauw, yang harus mengapresiasi dan melestarikan identitasnya. Pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologi dan kearifan lokal masyarakat setempat, itu adalah ancaman paling serius terhadap masyarakat Tambrauw pada umumnya dan keempat suku, Miyah, Ireres, Mpur dan Madik.
Dunia sedang mengalami krisis iklim akibat kerusakan lingkungan karena industrialisasi kapitalis.
Proyek-proyek pembangunan yang bergantung pada modal dan energi telah mengeksplorasi sikut kapital dan menata ulang ruang hidup kita melalui pembongkaran hutan dan pengerukan sumber daya alam.
Dengan kehancuran lingkungan Tambrauw, maka secara langsung seluruh kebiasaan, nilai, hidup, relasi antar alam dan manusia hilang, pembangunan bercorak kapitalistik bertendensi merusak lingkungan.
Tambrauw menjadi ancaman terbesar dalam ekologi dan nilai-nilai budaya. Karena budaya orang Tambrauw tidak berdiri sendiri tetapi berbarengan dengan alam. Jik alam Tambrauw rusak maka manusia Tambrauw secara budaya pun ikut punah.
Pendidikan inisiasi (wuon) tidak dilakukan di gedung berlantai megah dan pusat perbelanjaan megah, tetapi pendidikan dilaksanakan di alam bebas.
Pandemi paling berbahaya terhadap alam dan manusia Tambrauw adalah proyek strategis nasional (PSN) dan kawasan ekonomi khusus (KEK), yang menjadi tujuan negara untuk merampok kekayaan alam dan membunuh manusia Tambrauw.
Jika menyebut nama Tambrauw, maka secara langsung menyentuh empat suku besar di dalamnya.
Manusia Tambrauw seperti manusia Papua pada umumnya, mengalami diskursus konflik baru atas nama pembangunan, seperti perusahaan sawit dan pembangunan pos-pos militer.
Perusahaan sawit sudah mulai masuk di wilayah timur Tambrauw, tetapi ditolak oleh pemilik ulayat. Kini perusahaan sawit beralih fungsi menjadi perkebunan jagung.
Perusahaan tambang sudah mulai masuk di wilayah Kebar timur, informasi yang didapat bahwa perusahaan ini milik Cina. Namun dokumennya belum ditemukan, kapan beroperasi, dapat izin dari siapa, pemiliknya siapa dan bagaimana reaksi masyarakat pemilik tanah. Beberapa wilayah di Tambrauw sebagian sudah mendapatkan izin konsesi. Tunggu waktunya untuk beroperasi saja.
Pendidikan inisiasi maupun hal lain yang mendasari kehidupan manusia Tambrauw tidak terpisah dari alam. Jika alam rusak maka semua rusak.
Tatanan dunia saat ini berada dalam kebijakan ekonomi politik global dan regional. Dan secara implisit berpengaruh juga pada kebijakan politik daerah. Siapa pun yang menjabat bupati Tambrauw atau jabatan struktural, jika tidak memiliki basis pemahaman dan pengetahuan yang baik, maka Tambrauw akan ada di tangan oligarki yang berbarengan dengan kapitalis.
Seluruh kehidupan orang Tambrauw ada di otak orang Tambrauw dan orang Papua secara umumnya. Dalam menyelamatkan kehidupan manusia dan alam Tambrauw, kita harus membangun cara pandang. Dan politik alternatif yang kontekstual berbasis pada perjuangan yang universal, bukan perjuangan identitas suku, bahasa dan kabupaten.
Bersama membangun tatanan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya melalui perjuangan bersama untuk menentang seluruh tawaran atas pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan membangun Papua yang baru, maka di situ juga menyelamatkan manusia, budaya dan seluruh kehidupan orang Tambrauw, terutama suku Miyah, Ireres, Mpur dan Madik. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Tambrauw yang sedang menempuh studi magister di Yogyakarta