Oleh: Athanasius Bame OSA*
Tanggal 29 Juni 2023 diadakan pemberkatan gedung Gereja Paroki St Yosep Ayawasi oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Piero Pioppo. Peristiwa sukacita dan berahmat ini sudah lama dinantikan dan disambut oleh semua lapisan masyarakat di wilayah Paroki St Yosep Ayawasi. Bahkan orang Katolik asal Maybrat di manapun juga ikut merasakan kegembiraan dan kebesaran peristiwa sejarah ini.
Saya pun ikut merayakan dengan membuat tulisan ini yang terdiri atas dua bagian yakni peristiwa sejarah dan pemaknaannya. Saya yakin bahwa dengan perspektif masing-masing, siapa saja bisa memberikan arti berbeda atas peristiwa ini. Bagi saya peristiwa ini dimaknai sebagai sebuah peristiwa sejarah.
Peristiwa sejarah iman dan sejarah peradaban: lima dimensi peristiwa sejarah
Lantas apa yang membuat peristiwa ini disebut sebagai suatu peristiwa sejarah? Hemat saya peristiwa ini bersejarah dalam lima dimensi, yakni sejarah berdirinya gedung gereja baru yang megah, sejarah keterlibatan dan pengorbanan umat, pastor Agustinian, gereja lokal dan pemerintah lokal, peristiwa sejarah dua puluh tahun tugas penggembalaan Mgr Hilarion Datus Lega Pr sebagi uskup Keuskupan Manokwari-Sorong dan sejarah hadirnya seorang Nuncio Apostolik di wilayah pedalaman Kepala Burung, serta sejarah hadirnya aparat keamanan yang tidak lazim atau berlebihan.
Gereja lama yang dibangun oleh para misionaris melalui para tukang misi (sebut saja sapaan akrab mereka bapak Bame Tukang, Tawer Tukang, dan kawan-kawan masih sangat kuat). Ini adalah simbol pertumbuhan dan perkembangan iman di wilayah paroki St Yosep Ayawasi.
Bagi saya gereja fisik baru yang megah ini dibangun atas dasar gereja lama yang kuat. Gereja fisik yang megah dan kuat ini dibangun atas dasar dan oleh Gereja hidup (umat beriman) yang memiliki dasar iman Katolik yang kuat dan kokoh pula. Dalam arti ini gereja lama itu dihadirkan seperjalanan dengan persemaian, pewartaan dan pertumbuhan iman Katolik di wilayah ini.
Kita pasti melihat bahwa di mana bangunan gereja ini terletak di sana juga ada sekolah misi, polik misi, susteran, pastoran, perkampuang masyarakat dan lapangan terbang misi. Gereja ini dan hampir semua gereja lama di Kepala Burung identik dengan para Augustinian, karena merekalah yang menjalankan misi awal di Keuskupan Manokwari-Sorong. Mereka meletakkan dasar iman Katolik, dan kemudian dijaga, diperhatikan, diperbaiki dan diteruskan oleh generasi selanjutnya.
Seturut catatan dan laporan panitia pembangunan, peletakan batu pertama pembangunan gereja baru pada 17 Juli 2015 yang dihadiri oleh P Frans Jonkorgouw OSA, P Arnoldus Nayzen OSA dan P Lambertus Pati OSA (pastor paroki). Dari situlah proses selanjutnya berjalan. Dana yang dikeluarkan untuk pembangunan ialah 11 miliar lebih. Proses pembangunan gereja paroki ini mengalami pasang surut teriring dengan persoalan-persoalan yang terjadi, seperti keuangan, agenda pembangunan gereja-gereja stasi yang sedang berlangsung, dan perpedaan pilihan politik.
Beberapa kali terjadi pergantian kepengurusan panitia pembangunan (jika saya tidak salah tiga kali). Karena ini adalah pekerjaan Tuhan dan Tuhan itu hebat, proses pembangunan mengalir dimanis. Swadaya umat, partisipasi beberapa kampung dan marga menjadi modal dasar. Dukungan pemerintah daerah (kabupaten Maybrat dan Provinsi Papua Barat), serta komunitas-umat asal paroki St Yosep diaspora di pelbagai pelosok sangat berarti dalam menunjang roda pembangunan gereja.
Di atas semua ini doa, harapan dan semangat yang luar menjadi spirit menopang, mendobrak, menguatkan dan mengubah segalanya.
Selanjutnya, sejarah berdirinya gereja baru ini tidak terlepas dari kerja sama dan pengorbanan semua pihak, khususnya umat di paroki dan secara lebih istemewa umat di Ayawasi dan sekitarnya sejak awal pembangun dari tahun 2015 hingga pemberkatan tahun 2023. Dengan demikian gereja ini dibangun atas dasar pengorbanan.
Partisipasi dan bahu-membahu menjadi kekuatan yang memacu perjalanan pembangunan. Dukungan finansial, material dan tenaga serta pikiran dari umat sekalian tidak akan pernah dinilai dan diganti oleh apapun. Yang pasti bahwa anak cucu mereka akan bercerita bahwa orang tua mereka pernah berpartisipasi tanpa syarat dalam membangun sebuah gereja baru. Tantangan yang muncul silih berganti tidak pernah memudarkan, apalagi mematikan semangat mereka. Misalnya masalah keuangan dan pilihan politik sama sekali tidak membunuh semangat kesatuan dan kerja sama dalam menyelesaikan proyek besar yang bernama gereja paroki St. Yosep Ayawasi. Saya hanya mengatakan: masyarakat dan umat, kamu hebat. Anu rae ati.
Umat dan masyarakat yang dimaksudkan di sini tidak hanya mereka yang berdomisili di wilayah paroki ini, tetapi juga orang Maybrat dan non-Maybrat di tempat lain, seperti Timika, Jayapura, Manokwari, dll. Mereka ini juga berkontribusi bagi pembangunan gereja baru ini. Demikian juga, dukungan pastor paroki, komunitas Agustinian (secara khusus P Lambertus Pati OSA sebagai pioneer pembangunan, P Markus Malar OSA sebagai suksesor yang melanjutkan, dan P Felix Jangur OSA sebagai suksesor yang menyelesaikan). Dan para suster Fransiskan di Ayawasi pun tidak kalah pentingnya dalam rangka penyelesaian pembangunan gedung yang megah ini.
Proyek besar dan berat ini akhirnya dapat dituntaskan tidak terlepas dari dukungan finasial dan material dari pemerintah lokal, perorangan, umat dan masyarakat.
Lalu, aspek ketiga adalah peristiwa sejarah perayaan perjalanan Uskup Datus Lega selama 20 tahun di KMS. Uskup Datus adalah uskup ketiga setelah uskup Petrus van Diepen OSA dan uskup FX Hadisumarta OCarm.
Banyak perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi selama kepemimpian Uskup Datus. Perubahan skala besar maupun kecil terjadi di internal keuskupan maupun di kalangan umat beriman. Hemat saya yang terbesar ialah pembangunan seminari dan penambahan jumlah imam projo di KMS serta pembangunan fisik bangunan gereja yang didukung langsung oleh pemerintah daerah.
Peristiwa sejarah keempat ialah kunjungan pertama seorang Duta Besar Tahta Suci Vatikan untuk Indonesia di daerah pedalaman KMS (jika tidak salah kunjungan Nuncio yang terakhir ialah pada saat peresmian Gereja Katolik Santo Petrus Remu dan peletakan batu pertama pembangunan Seminari Petrus van Diepen di Aimas pada tahun 2005). Kunjungan seorang yang mewakili Paus Fransiskus atau hierarki Gereja Katolik Roma di Indonesia ini telah mendapat perhatian bersama dan perlakuan yang baik.
Dengan kehadirannya, dia dapat melihat dan menyapa langsung umat Katolik Papua di wilayah pedalaman. Maka tidak heran dan kaget bahwa hampir seluruh orang Maybrat, umat Katolik dan pelbagai kalangan lainnya menyambut dan melayani utusan Paus ini dengan respek dan keramahtamahan.
Akhirnya peristiwa sejarah terakhir ialah sejarah kehadiran aparat yang tidak lazim atau berlebihan (jumlah banyak dan senjata lengkap). Perayaan iman umat tanggal 29 Juni 2023 ini menjadi sedikit tidak lazim karena banyak anggota TNI/Polri berseragam lengkap mengikuti dan mengawal perayaan sakral umat Katolik. Ini sesuatu yang baru karena tidak pernah terjadi sejak awal paroki ini dan kampung-kampung dibentuk oleh para misionaris.
Dalam laporan Kompas, 29 Juni 2023 dan Antara, 28 Juni 2023, ada 900 personel yang terdiri dari 600 TNI dan 300 Polri yang mengamankan kunjungan Nuncio selama di Ayawasi dan kegiatan-kegiatannya. Jumlah personel ini sudah melampaui jumlah umat paroki St Yosep Ayawasi sendiri. Bahkan persiapan pengamanan dilakukan seminggu sebelum kedatangan Dubes Vatikan ke Maybrat menurut Danrem 181/PVT Brigjen TNI Juniras Lumbantoruan. Bersambung. (*)
* Penulis adalah biarawan Katolik dan imam Agustinian, tinggal di Filipina