(Dinamika kekerasan dalam pacaran)
Oleh: Aellvierro Yaslin*
Pacaran merupakan hubungan antara dua individu yang memiliki ketertarikan, baik secara emosional, maupun secara fisik. Hubungan ini melibatkan kedekatan, perhatian, dan komitmen untuk lebih mengenal satu sama lain.
Tujuan berpacaran pun bisa bermacam-macam. Mulai dari menikmati kebersamaan, mencari teman bercerita, hingga menjajaki kecocokan jangka panjang melalui pernikahan.
Dalam berpacaran, para pasangan biasanya berinteraksi secara sosial, berbagi pengalaman, dan membangun keintiman. Komunikasi yang terbuka dan jujur, pengertian, dan rasa hormat satu sama lain merupakan faktor penting dalam menjaga hubungan pacaran yang sehat.
Ketika berbicara tentang hubungan percintaan, kita sering kali terpesona oleh romantisme dan keindahan yang mengelilingi dunia pacaran. Percintaan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia, dan seringkali hubungan dimulai dengan keindahan cinta yang tumbuh di antara dua individu.
Namun, seperti kehidupan itu sendiri, tidak semuanya berjalan lancar. Di balik kisah cinta yang penuh warna, ada kompleksitas dan kenyataan yang tidak selalu mudah dihadapi. Perbedaan pendapat, ketidaksepahaman, dan konflik bisa bertumbuh seiring berjalannya waktu dan menciptakan dinamika yang tak terduga. Alhasil romantisme berpotensi mengarah pada situasi yang tidak sehat, karena memicu kekerasan dalam berpacaran (KDP).
Kekerasan dalam pacaran mengacu pada perilaku yang merugikan secara fisik, emosional, atau seksual dalam hubungan romantis. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial ekonomi.
Kekerasan merupakan akibat dari ketidakseimbangan peran perempuan dan laki-laki sehingga menimbulkan dominasi dan diskriminasi yang menghambat kemajuan. Dalam banyak kasus KDP, perempuanlah yang paling sering menjadi korban. Ragam kekerasan mulai dari verbal, fisik, caci maki, kekerasan emosional atau psikologis, sikap posesif berlebihan, pembatasan aktivitas hingga memutuskan relasi dengan kerabat merupakan beberapa jenis kekerasan yang sering dialami perempuan dalam pacaran.
Berdasarkan data Komnas Perempuan dalam catatan tahunan, kasus KDP tahun 2023 mencapai 422 kasus. Sekitar 713 kasus yang dilaporkan dilakukan oleh mantan pacar. Itu adalah data yang dilaporkan, bagaimana jika para perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran dibungkam dan menjadi takut untuk melaporkan kasus tersebut? Maka akan ada lebih banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang tidak terdata.
Sa larang, sa pukul, tandanya sa sayang?
Kekerasan dalam pacaran sudah sering kita lihat dan mungkin kita juga pernah mengalami hal tersebut. Apalagi di Indonesia, khususnya di Papua–budaya patriarki yang kental terus melanggengkan dominasi laki-laki. Alhasil, ada ekspektasi tinggi bahwa perempuan harus selalu mendengar dan mentaatinya.
Dalam lingkup pacaran pun, subordinasi terhadap perempuan memaksakan tunduknya perempuan pada aturan yang diberikan oleh laki-laki. Beberapa pria menjadi posesif berlebihan dan membatasi interaksi perempuan dengan laki-laki lain dengan mengatakan: “Karna sa tahu dong pu pikiran tu bagaimana”. Bahkan aktivitas di media sosial pun dibatasi. Larangan mem-follow atau menyukai postingan laki-laki lain di media sosial pun dikumandangkan.
Tidak hanya itu, tak sedikit perempuan yang kehilangan otonomi atas tubuhnya. Berbagai larangan untuk berpakaian yang terlalu ‘terbuka’ atau ‘tidak sesuai dengan budaya’ terus diutarakan. Semua aturan pun dibuat dengan dalih: “sa sayang ko makanya sa larang”.
Ironisnya, larangan ini hanya berlaku untuk perempuan saja. Sang pria bisa dengan bebas melirik perempuan lain yang memakai pakaian ‘terbuka’, mem-follow dan menyukai postingan perempuan lain hingga berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis. Dalam banyak kasus, ketika perempuan mengkonfrontasi hal tersebut, maka akan terjadi adu mulut hingga pemukulan.
Karena sifat posesif dan emosional laki-laki ditambah dengan struktur patriarki yang sudah membadan seolah membenarkan ragam kekerasan yang sudah dialami. Menurut saya, laki-laki pelaku KDP memiliki sikap manipulatif, sedangkan korban perempuannya mempunyai rasa cinta yang terlalu dalam. Itu sebabnya, ketika ada masalah yang mengakibatkan pertengkaran hingga pemukulan, biasanya perempuan dalam posisi memberi maaf karena rasa cinta yang besar itu tapi juga posisi tawar yang lebih lemah. Hal ini membuat relasi pacaran ada dalam sebuah siklus kekerasan.
Dalam siklus ini, relasi akan dimulai dengan periode tenang, dimana kekerasan seakan tidak pernah terjadi. Setelah itu, konflik pun muncul dan membuat korban menjadi tidak nyaman (periode ketegangan).
Ketegangan yang terus memuncak dapat menimbulkan perilaku kekerasan (periode perilaku kekerasan). Pada puncaknya, pelaku menyadari bahwa kondisi semakin memburuk dan memunculkan perasaan bersalah serta pelaku akan meminta maaf (periode bulan madu). Yang terjadi adalah, perempuan memaafkan dan akan kembali pada sebuah siklus. Ketika kekerasan terus berulang, maka relasi tersebut ada dalam siklus ‘lingkaran setan’ KDP.
Cinta bukan untuk menambah luka
Sebagai seorang penyintas KDP, saya sering berefleksi dan bertanya, kenapa perempuan cenderung bertahan dalam siklus kekerasan? Jawaban yang sering terdengar tentu saja: Cinta.
Dalam kamus Oxford, cinta berarti an intense feeling of deep affection yang dapat merujuk pada a deep romantic or sexual attachment to someone. Dalam hubungan berpacaran ada rasa nyaman yang mendalam menghasilkan cinta tapi juga ketertarikan seksual.
Dalam referensi lain di jurnal perempuan dijelaskan bahwa cinta merupakan kata sifat yang berarti suka sekali; sayang sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan). Sementara mencintai merupakan perihal saling memberi kasih antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, maka cinta seharusnya menjadi relasi yang dipenuhi dengan kasih dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Namun, sering terdengar pernyataan menyatakan bahwa dalam hubungan, rasa cinta perempuan terus bertumbuh dari 0% hingga 100%. Sebaliknya, laki-laki mencintai dari 100% hingga 0%. Artinya, cinta seorang pria akan terus memudar seiring jalannya waktu.
Menurut saya, cinta ini juga berbanding lurus dengan relasi tidak setara antara pasangan. Misalnya ketika permintaan berhubungan seks tidak dilayani oleh sang perempuan, maka pacarnya akan merasa marah. Biasanya para pelaku KDP percaya bahwa seks menjadi sebuah tanda cinta dan kelaziman dalam hubungan pacaran. Ketika tidak dituruti oleh perempuan, maka ia akan merasa dirinya paling tersakiti dan mulai melakukan kekerasan dengan pertama-tama menjatuhkan mental perempuan.
Lalu bagaimana caranya kita keluar dari hubungan yang toxic ini? Saya yakin bahwa ada kekuatan dari kata-kata yang disampaikan oleh para laki-laki pelaku KDP di awal relasi pacaran. Oleh karena itu, para perempuan yang sedang ada dalam relasi tersebut untuk tidak termakan omongan, rayuan dan janji manis yang dilontarkan untuk ketenangan dan kenyamanan hubungan padahal sifatnya manipulatif!
Kita harus berani mengatakan tidak, untuk menghentikan awal siklus kekerasan, karena kita mempunyai hak atas diri sendiri. Sedangkan bagi mereka yang sudah ada dalam ‘lingkaran setan’ kekerasan ini, harus segera mencari bantuan dengan menghubungi teman atau orang terpercaya atau lembaga yang melayani para penyintas kekerasan. Kita berhak untuk menentukan apa yang terbaik untuk tubuh kita, diri kita dan masa depan kita, sehingga jangan biarkan waktu dan kesempatan kita terbuang untuk relasi toxic.
Karena cinta itu datang bukan untuk menambah luka. Jadi, melepaskan hubungan yang toxic adalah tindakan merawat diri! Dan ingat, jika kamu sudah memberikan segalanya dan itu tidak cukup, kamu mungkin memberikannya kepada hubungan yang salah! (*)
* Penulis adalah anggota Komunitas Swara Akar Papua (SWAP) dari Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua. Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)” di Tanah Papua