Oleh Thomas Ch Syufi*
Sangat disesalkan langkah arogan dan represif Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan tidak melantik dua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Benny Sweny dan Orpa Nari, tanpa dasar hukum yang jelas. Kedua anggota MRP yang tidak dilantik bersamaan dengan para anggota MRP lainnya di Jayapura, Papua, Selasa (7/11/2023), dengan alasan mereka masuk dalam daftar merah. Mereka dianggap merupakan bagian dari anggota MRP periode 2017-2022 yang ikut menolak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sekitar tahun 2020-2002 dan melakukan uji materiil atau judicial review terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Ini pendapat yang dinilai dangkal dan menyesatkan, layaknya orang melek hukum atau orang-orang yang hidup di negara-negara nondemokrasi, terutama negara totaliter dengan spirit etatisme, yang hobi mengatasnamakan hukum, kepentingan negara dan rakyat untuk memberangus rival-rival politik yang memiliki niat baik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat seperti Benny Sweny dan Orpa Nari.
Pertanyaannya, apakah Kemendagri adalah lembaga pengadilan yang berwenang menetapkan seseorang masuk daftar merah atau dan menyatakan mereka bersalah melakukan tindak pidana? Apakah Kemendagri telah mengantongi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dan mengikat (binding) yang menyatakan Benny Sweny dan Orpa memiliki catatan kriminal yang menunjukkan secara sah dan meyakinkan bahwa kedua anggota MRP ini telah melakukan tindak pidana?
Kalau tidak ada, sebaiknya Kemendagri jangan memunculkan asumsi liar yang dapat menggerus reputasi dan kredibilitas kedua anggota MRP tersebut sebagai anak-anak asli Papua yang punya tujuan luhur untuk bangun orang Papua di negeri ini. Kalau Kemendagri punya catatan khusus tentang rekam jejak kedua anggota MRP, itu pun, tidak perlu diumumkan di depan publik, karena itu bukan hasil putusan pengadilan yang sah dan meyakinkan. Karena mereka dijamin dengan asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) hingga adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apalagi Kemendagri juga bukan lembaga penyidikan yang berhak mengumumkan nama seseorang kepada publik, bahkan untuk kepentingan penyidikan pun tidak dibenarkan untuk disebutkan secara lengkap identitas orang yang diduga melakukan tindak pidana. Cukup menggunakan inisial hingga adanya putusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap. Jadi, tidak ada lembaga apa pun di negara ini yang berhak menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak, kecuali pengadilan, melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Hal tersebut mempertegas adagium facta sunt potentiora verbis (fakta lebih kuat dari kata-kata).
Diingat bahwa ada asas umum yang berlaku dalam dunia hukum yang harus dipatuhi yaitu, cogitationis poenam nemo patitur, tidak ada seorang pun dapat dihukum hanya karena berdasarkan apa yang ada dalam hatinya! Dunia peradilan saja sudah dilarang demikian, apalagi Kemendagri yang lembaga non peradilan secara semrawut menetapkan atau menyebut orang bersalah tanpa bukti kesalahan mereka melalui putusan pengadilan adalah hal yang irasional dan tidak bisa dibenarkan secara hukum. Walaupun ada peraturan daerah (perda) atau apa pun yang mengatur hal tersebut, itu harus didasarkan pada putusan pengadilan.
Sebagaimana berdasar asas legalitas bahwa tak seorang pun dapat dihukum tanpa kesalahan, kecuali ada aturan yang telah mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) dan nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), yang telah dinormakan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Jadi, tindakan Kemendagri ini bisa berakibat fatal bagi eksistensi dan masa depan karier kedua anggota MRP. Juga merupakan serangan dahsyat terhadap jantung demokrasi dan pelecehan hukum, sekaligus pembunuhan karakter yang dilakukan oleh Kemendagri dengan tidak melantik dua anggota MRP, Benny Sweny dan Orpa Nari.
Seandainya pun, ada anggota MRP periode lalu (2017-2022) yang terlibat dalam proses penolakan Otsus dan ikut melakukan judicial review UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, itu hal yang sangat tepat dan menjadi keharusan mereka sebagai representasi kultural orang asli Papua. Setiap aspirasi yang mereka dorong atau perjuangkan tentu bersumber dari konstituennya, yakni masyarakat Papua.
Hal tersebut bukanlah inisiatif mereka sendiri, apalagi hal itu bukan dilakukan oleh kedua oknum anggota MRP ini, tapi merupakan sebuah keputusan kolektif kolegial secara institusional oleh seluruh anggota MRP. Ini merupakan hal yang lumrah dalam iklim demokrasi.
Tentu sebagai representasi masyarakat tidak mungkin apatis dan antipati terhadap aspirasi rakyat, itu hal tidak mungkin (impossibility). Perlu dipahami juga bahwa MK adalah lembaga yang berwenang melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945. Jadi, sangat patut dan tepat MRP memiliki legal standing untuk menguji UU Otsus ke MK atas berbagai sikap otoriter pemerintah pusat yang terus mengintervensi proses penyelenggaraan Otsus di Papua, termasuk secara sepihak mengubah UU Otsus Papua tanpa berkonsultasi dengan rakyat Papua melalui lembaga MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), sesuai amanat UU Otsus itu sendiri.
Setiap warga negara punya hak memperjuangkan keadilan dan kepastian hukum dengan cara-cara bermartabat dan konstitusional, yang tidak bisa dilarang oleh siapapun, termasuk Kemendagri. MRP secara tepat telah melakukan proses memindahkan peradilan jalanan ke panggung hukum yang paling bermartabat, yaitu melakukan Uji Materi UU Otsus Papua ke MK. Maka, pemerintah pusat, terutama Kemendagri harus memahami hal tersebut secara baik, agar tidak gegabah dalam menyalahkan elite-elite lokal yang menyuarkan aspirasi masyarakat Papua.
Juga jangan demi kepentingan kelompok dan politik tertentu, lalu mengatasnamakan kepentingan negara untuk mencurigai, menuduh, dan memberangus lawan-lawan politik, dengan melanggar etika dan norma hukum, dengan mengabaikan asas inde datae leges be fortiori omnia posset (hukum dibuat agar membatasi yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas).
Jelas, dari berbagai uraian tersebut memberi pertanda bahwa Kemendagri telah bertindak di luar nalar hukum dan ini bentuk dari homo homini lupus est (manusia yang satu jadi serigala bagi sesamanya) atau meminjam bahasa dramawan Romawi dari periode Latin kuno, Plautus (254-184 SM): “Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit” (manusia bukan manusia tetapi serigala bagi orang lain).
Bahkan langkah Kemendagri tidak melantik dua anggota MRP ini merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Juga melanggar asas rechtmatigheid (asas yang menetapkan bahwa setiap tindakan pejabat negara tidak boleh melanggar hukum, yaitu asas keadilan dan kepatutan) serta melanggar asas wetmatigheid (asas yang menetapkan bahwa setiap tindakan pejabat negara harus ada dasar hukumnya).
Jadi, cara-cara seperti ini sama dengan negara sengaja mengawetkan konflik dan ketidakadilan di Tanah Papua, bukan sebaliknya mewujudkan keadilan yang membebaskan bagi orang Papua, untuk mengatur dirinya sendiri dalam kerangka UU Otsus Papua, sebagai hasil kebijakan sepihak yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk meredam upaya advokasi pelanggaran hak asasi manusia dan tuntutan referendum Papua. Bahkan MRP bukan lembaga subordinasi Kemendagri, tapi hubungannya bersifat koordinatif, karena MRP diatur secara lex specialis oleh UU Otsus Papua, bukan di bawah Kemendagri.
Apa pun aspirasi yang mereka terima dan menjawab atau menindaklanjuti, itu tidak merugikan siapapun, termasuk negara. Karena yang diperjuangkan itu konstitusional dan aspiratif, dan segala keputusan tertinggi dan nasib negara ini ada di tangan pemerintah pusat sebagai konsekuensi logis dari bentuk negara kesatuan. Apalagi ciri negara kesatuan adalah adanya supremasi parlemen pusat, yang berhak membentuk undang-undang dan ikut menentukan arah pembangunan nasional bersama pemerintah.
Mengapa Kemendagri harus fobia pada anggota dan lembaga MRP yang notabene merupakan lembaga orbitan negara yang berada pada level lokal, yang dengan tulus berbicara kebenaran dari kehendak rakyat untuk perbaikan serta perubahan dalam rangka penyelenggaran Otonomi Khusus di Papua harus dijadikan musuh, sampai-sampai tidak melantik kedua anggota MRP, Benny Sweny dan Orpa Nari? Ini bentuk sabotase yang dapat melanggar hak asasi manusia sekaligus merugikan hak konstitusional dua anggota MRP yang telah memperoleh legitimasi dari masyarakat Papua melalui proses seleksi atau pemilihan yang jujur, adil, demokratis, dan bermartabat, seperti para anggota MRP lainnya yang telah dilantik oleh Mendagri.
Jadi, Kemendagri setop menerapkan praktik politik adu domba orang Papua, dengan tanpa dasar hukum tidak melantik dua anggota MRP, Benny Sweny dan Orpa Nari. Tindakan Kemendagri ini membuktikan bahwa fungsi MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua telah bergeser makna menjadi lembaga politik atau ‘boneka’ Jakarta, karena segala proses dilakukan dengan sarat kepentingan dan berdasar pada budaya like or dislike oleh Jakarta, bukan dipilih secara objektif dan proporsional sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua berdasarkan persentase penyebaran penduduk asli Papua pada 7 wilayah adat, terutama wilayah adat Saireri dan Tabi.
Oleh karena itu, Mendagri segera melantik Benny Sweny dan Orpa Nari,.termasuk melantik sejumlah nama anggota MRP yang tidak disebutkan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Wempy Wetipo dalam proses pelantikan di Jayapura, 7 November 2023. Mereka mempunyai hak konstitusional dan hak asasi sebagai anak asli Papua yang punya kapabilitas dan integritas untuk dikukuhkan menjadi anggota MRP, karena mereka dipilih oleh unsur-unsur masyarakat asli Papua, untuk mengawal aspirasi masyarakat Papua melalui UU Otsus, demi keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan orang asli Papua, sebagai wujud kemajuan dan kesejahteraan orang Papua dalam NKRI. (*)
* Penulis adalah advokat muda Papua