Oleh: Boban Abdurazzaq Sanggei
Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara kesatuan. Dan tertulis dalam UUD 1945 pasal 37 ayat 5 bahwa “bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan”.
Secara jelas dalam undang-undang ini dikatakan bahwa bentuk negara kesatuan ini sudah final. Jika itu diubah atau ada gerakan yang ingin mengubah bentuk negara kesatuan, berarti ia melawan konstitusi dan akan dicap sebagai musuh negara.
Namun, menariknya adalah bentuk negara tidak dapat dikatakan final, karena bentuk negara dapat diubah selama hal itu diperlukan untuk membangun kehidupan bernegara yang lebih baik.
Jika kita kembali pada masa-masa sebelum Indonesia merdeka, kita ketahui bahwa ada perdebatan sengit antara Bung Karno dan Bung Hatta tentang bentuk negara Indonesia. Mohammad Hatta berpendapat bahwa Indonesia dengan geografis kepulauan memiliki banyak suku, ras dan daerah, yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga bentuk negara federallah yang paling cocok diterapkan di Indonesia.
Namun, Bung Karno menginginkan bentuk negara kesatuan. Argumentasi yang dikatakan adalah seluruh wilayah memiliki nasib yang sama, yaitu dijajah oleh Belanda.
Hal ini mengalami perdebatan panjang hingga pada Konferensi Meja Bundar. Pada suatu momen Hatta sepakat bahwasannya bentuk negara kesatuan dalam konteks ini sangat diperlukan karena dilihat dari situasi Belanda yang juga mengajukan bentuk negara federal. Hal ini dapat dipastikan bahwa akan terjadi lagi kolonisasi dari Belanda terhadap negara-negara bagian, jika negara federal dibentuk.
Cukup dengan sejarah, kita kembali ke topik. Bentuk negara kesatuan ialah kekuasaan dipegang oleh pemerintah pusat saja, dan pemerintah pusat berwenang untuk mengatur daerah lainnya. Jadi, satuan subnasional hanya menjalankan pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah pusat.
Penulis akan memaparkan beberapa perbedaan antara negara kesatuan dan federal. 1) Setiap daerah pada negara kesatuan memiliki perda (peraturan daerah), sedangkan negara federal pada setiap daerahnya memiliki UUD daerah yang tidak bertentangan dengan UU negara; 2) Setiap daerah pada negara kesatuan daerah diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan pada negara federal daerah harus mandiri. Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan tersebut.
Jika kita lihat banyak sekali kegagalan negara dalam menjalankan tugasnya. Pada satu contoh pelaksanaan Otonomi Khusus atau Otsus Papua. Tentunya kita tahu bahwa selama 20 tahun Otsus Papua tidak ada perubahan yang signifikan. Pelaksanaannya tidak melihat undang-undang itu sendiri. Banyak sekali praktik malkonstitusi. Seakan-akan otsus itu hanya ungkapan dan konsep penyaluran dana saja, dan seluruh keputusan dikembalikan lagi ke pusat.
Bahkan dapat kita lihat konteks hari ini. Banyak kebijakan pemerintah pusat yang sangat tidak tepat, misalnya, food estate (sawah yang berjuta-juta hektare). Yang menjadi persoalan di sini adalah kemajuan seperti apa yang dimaksud oleh pemerintah pusat untuk manusia Papua?
Pada dasarnya orang Papua memiliki hak untuk mandiri secara konstitusi, tetapi hal ini tidak pernah terwujud.
Penulis ingin mengajak pembaca dengan membayangkan, bahwa bentuk negara Indonesia diganti menjadi negara federal pada masa kini.
Pertama, daerah-daerah seperti Papua, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi lebih mandiri tanpa takut adanya kolonisasi dari Belanda.
Kedua, pembangunan tidak lagi berpusat di Jawa, tetapi masing-masing daerah membangun daerahnya sendiri tanpa ada intervensi dari pusat, sehingga konteks maju dapat direalisasikan oleh keinginan orang-orang daerahnya sendiri.
Ketiga, tingkat minat pendidikan dan fasilitas kesehatan akan meningkat jika setiap daerah benar-benar peduli dengan situasi hari ini. Namun, hal ini hanya sebatas pemikiran penulis.
Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi di berbagai daerah, khususnya Papua yang tidak berubah sama sekali, bahkan mengalami degradasi moral dan akal. Kurang meratanya pembangunan pada aspek pendidikan dan kesehatan menjadi dasar, di mana manusia Papua mengalami keterpurukan dalam bersaing di berbagai aspek atau profesi.
Penulis masih membayangkan jika Negara Kesatuan Republik Indonesia diganti menjadi federal, berapa banyak persentase masalah pengangguran yang akan teratasi? Karena penulis memandang bahwa jika masyarakat imigran yang ingin balik ke daerah asalnya untuk membangun daerahnya, itu merupakan pengorbanan yang tidak sia-sia.
Mengapa penulis berpikir seperti ini? Karena di Papua kualitas SDM orang asli Papua sangat rendah, bahkan aspek yang menjadi penunjang naiknya SDM yaitu pendidikan masih dibilang rendah, bahkan anak-anak Papua banyak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Masalah ini sempat penulis bahas pada tulisan sebelumnya berjudul “Membangun Peradaban Papua dari Pendidikan” dan “Minat Pendidikan dan Peradaban Papua”.
Tidak hanya itu lingkungan dan aktivitas pemuda, salah satunya di Kabupaten Kaimana, dapat dikatakan buruk secara moral. Karena hampir pasti setiap hari diisi dengan kegiatan mabuk-mabukan. Hal ini juga yang menjadi faktor di mana kekerasan, kriminalitas dan tingkat kecelakaan itu ada. Apalagi ditambah dengan cepatnya dominasi teknologi, khususnya ponsel pintar dan media sosial pada kalangan muda, yang menjadi faktor bahwa masa depan orang Papua dan pulau Papua sedang terpuruk, akibat tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan para pendatang.
Tentunya permasalahan di atas juga sedang dialami daerah lain di Indonesia. Sehingga jika bentuk negara Indonesia diganti menjadi negara federal, maka permasalahan-permasalahan ini akan menurun seiring berjalannya waktu. Dan seperti yang disinggung di awal bahwa bentuk negara tidak dapat diganti. Tetapi jika melihat konteks hari ini, penulis berpikir bahwa mengganti bentuk negara bukan menjadi masalah besar, bahkan tidak ada masalah sama sekali.
Mungkin dalam tahun-tahun awal akan rumit karena butuh penyesuaian. Pada akhirnya negara dengan multikultural akan susah berkembang jika pemerintah terus menanamkan jargon “NKRI Harga Mati”. Biarkan orang Kalimantan mengurus dirinya sendiri. Begitupun Papua, Sumatra, Sulawesi dan wilayah-wilayah lainnya, agar mereka bisa mencapai kemajuan menurut mereka sendiri. Karena tidak semua kemajuan itu harus ditanami beton dan deforestasi secara besar-besaran. (*)
*Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur