(Sebuah refleksi atas gerakan mahasiswa Papua di Indonesia)
Oleh: Sebedeus G. Mote
Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang. Salah satu ketentuan yang mengatur demonstrasi adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sedangkan demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos dan kratos. Demos berarti rakyat atau khalayak, sementara kratos artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengizinkan, serta memberi hak dan kebebasan kepada warga atau rakyat untuk berpendapat.
Mencari demokrasi di tengah jalan raya melalui demonstrasi bagi mahasiswa/i Papua bukan sesuatu yang baru bagi orang (kolonial Indonesia) yang melihatnya. Hampir setiap peristiwa yang mengancam eksistensi orang asli Papua dalam sistem kekuasaan Indonesia. Apapun kasus, lebih khusus ketidakadilan tentang kasus kemanusiaan yang muncul, gerakan mahasiswa pasti hadir di tengah publik untuk memprotes, misalnya, kasus rasisme bagi OAP yang terjadi di Surabaya beberapa tahun lalu. Hal serupa atau kasus lain bergulir cukup lama ketika masyarakat asli Papua mengalami kekerasan struktural sejak 1961.
Untuk menyampaikan aspirasinya mahasiswa turun jalan. Karena “demokrasi” dimatikan melalui praktik kekerasan dari aparat keamanan Indonesia.
Gerakan mahasiswa selalu mengambil momentum kasus tertentu. Manusia Papua selalu mengalami ketidakadilan dan kekerasan. Mahasiswa dan rakyat Papua juga pasti turun jalan, untuk mencari apa yang tidak kunjung ditemui sejak kemerdekaan direbut, yaitu demokrasi itu sendiri.
Ujung dari setiap gerakan mahasiswa dan rakyat Papua adalah demokrasi. Bagaimanapun ujung tersebut tak kunjung ditempuh. Karena negara Indonesia terus membungkam ruang demokrasi bagi mahasiswa dan rakyat Papua.
Demokrasi ada dimana?
Demokrasi pada dasarnya mencari suatu sistem yang dianggap baik di antara sistem yang lain. Mengapa? Karena pemerintahan yang demokratis akan memberikan hak kepada warganya; akan memberikan suatu kebebasan pada warga itu sendiri. Melalui jalan demokrasi siapa pun tidak bisa berbuat sewenang-wenang, termasuk penguasa di negeri ini. Karena demokrasi yang baik dan benar, maka negara harus mampu melindungi setiap warga negara.
Warga negara Indonesia sudah paham bahwa negara ini adalah negara demokratis, tetapi kenyataannya tidak demikian. Setiap gerakan mahasiswa maupun rakyat Papua yang turun ke jalan-jalan dan lorong-lorong hanya untuk mencari demokrasi. Akan tetapi, kenyataan yang ditemui adalah kekerasan, pemerkosaan, pemukulan jatuh tersungkur berlumur darah atau dimasukkan penjara.
Gerakan-gerakan mahasiswa dan rakyat pasti hadir di depan publik, dengan mengambil tempat di jalan raya sebagai panggung, untuk berorasi tentang kebenaran dan damai. Di panggung kebenaran itu mereka pasti berorasi dengan teriakan melalui megafon. Itu semata untuk mencari demokrasi yang tak kunjung ditemui. Dan selalu saja tidak pernah bertemu.
Lalu dimanakah demokrasi bersembunyi? Ia mungkin bersembunyi atau terpenjara dalam perilaku manusia. Ia juga bisa menyelinap dalam setiap lembaga manusiawi yang tidak berperikemanusiaan. Dan yang terlalu sering adalah demokrasi disembunyikan di “ketiak” pemegang kekuasaan yang mandul.
Mahasiswa dan rakyat Papua hari ini sudah kritis atas penindasan yang dialaminya. Mereka menjadi kritis karena setiap hari mengalami kehidupan yang tidak demokratis ini. Dengan sikap kritis inilah kemudian mereka mencari sistem jalan damai.
Mahasiswa tidak terlepas dari rakyat. Begitu juga sebaliknya mereka adalah penentu masa depan Papua. Karena itu membela kepentingan bersama menuju kebebasan yang sejati di tanah ini. Dan demokrasi adalah jawaban atas persoalan itu.
Karena demokrasi sampai saat ini tidak kunjung didapat, maka demonstrasi di jalan raya sebagai tempat mencari kebenaran. Aktivis mahasiswa tentu membawa pamflet sesuai tema demonstrasi yang dimaksud. Risikonya selalu sama, yakni, penjara dan diseret di atas aspal jalan atau dipukul hingga babak belur.
Sungguh demokrasi di Indonesia hancur berantakan. Aparat keamanan negara Indonesia harus membiasakan diri untuk berlaku demokratis. Dan perilaku kehidupan harus mampu memberikan ruang demokrasi yang baik bagi mahasiswa dan rakyat Papua. Maka dari itu, TNI/Polri janganlah brutal seperti manusia yang tak punya otak. Sekali lagi, janganlah menutup ruang demokrasi di Papua.
Mahasiswa dan rakyat Papua janganlah pernah mundur, tetapi berteriaklah sekerasnya melalui megafon demi mencari solusi demokratis yang damai di jalan raya, walaupun mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat keamanan Indonesia. Demonstrasi di jalan raya akan selalu ada dan mudah ditemui selama demokrasi belum terbentuk.
TNI/Polri terjebak dalam demonstrasi
Pihak keamanan negara Indonesia terjebak, karena tidak tahu makna demokrasi di Indonesia. TNI/Polri sebenarnya sudah bisa membaca apa yang ada dalam benak mahasiswa dan rakyat Papua. Bahwasannya demonstrasi damai yang dilaksanakan adalah demi mewujudkan demokrasi. Karena negara Indonesia adalah negara demokrasi.
Namun, aparat keamanan negara sering terjebak dan buat gerakan brutan atas manusia yang berdemonstrasi. Oknum TNI/Polri yang ditugaskan saat mahasiswa dan rakyat Papua demo memang dianggap kurang disiplin.
Aparat keamanan negara harus sadar. Seharusnya TNI/Polri hanya menjaga massa demo supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi, memang TNI/Polri sangat brutal dan persis aparat keamanan negara tidak tahu menghargai para pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan kepada para pendahulu kemerdekaan Indonesia, yang juga pencetus Indonesia sebagai negara demokrasi, maka TNI/Polri jangan bertindak brutal seperti manusia yang tidak bermoral, terhadap pendemo.
TNI/Polri harus menghargai massa demonstran. Tidak usah melakukan gerakan tambahan. Kalau ada gerakan tambahan, berarti oknum TNI/Polri terjebak dalam skenario mahasiswa dan rakyat. Maksudnya adalah hargailah nilai demokrasi. Mahasiswa dan rakyat Papua adalah manusia yang bermartabat.
Supaya TNI/Polri tidak terjebak, maka biarkanlah mahasiswa dan rakyat Papua menyampaikan aspirasinya dengan aman dan tenang. Kalau TNI/Polri masih melakukan tindakan anarkistis kepada mahasiswa dan rakyat Papua, berarti negara lain di dunia akan menertawakan bangsa yang merayakan HUT ke-78 kemerdekaannya, pada 17 Agustus 2023 ini.
Semoga negara Indonesia melalui TNI/Polri jangan menutup ruang demokrasi bagi Papua. Biarkanlah orang Papua berdemo di jalan, dan pekalah terhadap aspirasi mereka.
Epilog
Mari wujudkan demokrasi tanpa kekerasan. Karena perjuangan tanpa kekerasan akan bermanfaat untuk melindungi demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak minoritas, hak-hak prerogatif, pemerintahan setempat dan regional dan lembaga-lembaga non pemerintah.
Cara seperti ini membantu semua pihak, baik Papua, maupun Indonesia, berhak menyatakan perbedaan pendapat secara damai. Kebebasan itu harus direbut, sebab di Indonesia ini tidak ada kebebasan cuma-cuma bagi rakyat tertindas.
Demokrasi harus direbut dengan cara damai sekalipun harus menempuh jalan panjang dan berliku. Mari membangun suasana demokratis dan saling percaya. Mari rebut kebebasan dengan tetap pada prinsip damai walaupun TNI/Polri pakai kekerasan.
Marilah kita menegakkan aturan tentang keadilan dan perdamaian, yang mewajibkan setiap orang, tanpa pandang bulu, serta keberuntungan. Yang lemah dan yang berkuasa tunduk pada kewajiban tersebut. Biarkan kita bersatu dalam sebuah kekuatan bersama secara maksimal. (*)
*Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur dan anggota Kebadabi Voices Abepura-Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!