Oleh: Thomas Ch Syufi
Serangan Johanes Kaprimi Jambuani di Kebar, merupakan perintah atau tanggung jawab yang diberikannya, sebagai salah satu komandan operasi yang dipilih dalam rapat di Manokwari. Penyerangan di Kebar itu dinilai sebagai agresi prematur, karena dilakukan pada 26 Juli, sebelum hari “H”, yaitu 28 Juli 1965.
Setelah mendapat mandat dan mengangkat sumpah sebagai komandan operasi di daerah Kebar, Jambuani berjalan kaki dari Manokwari ke Kebar, demi melakukan komunikasi dan konsolidasi kekuatan dengan pasukannya, untuk mempersiapkan penyerangan terhadap pos tentara Kebar secara serempak dengan penyerangan Markas tentara di Arfai, Manokwari, 28 Juli 1965.
Setelah tiba di Kebar, Jambuani tidak masuk kampung. Ia bersama pasukannya tinggal di hutan, di daerah Moropiem dan Bamsan yang tak jauh dari kampung Anjai, ibu kota Distrik Kebar, yang menjadi tempat penyerangan.
Namun, kehadiran Jambuani di daerah Kebar sudah tercium oleh mayoritas masyarakat Kebar, termasuk seorang guru katekis non-Papua yang mengajar di sekolah dasar, di suatu kampung di bagian barat Kebar. Diduga guru katekis tersebut mendengar informasi dari masyarakat, bahwa kelompok OPM di bawah pimpinan Johanes Jambuani tengah berada di Kebar, dan mereka berencana menyerang pos tentara Kebar.
Ia pun segera membuat catatan dalam secarik kertas, yang ditujukan kepada komandan pos tentara di Kebar sebagai informasi (laporan) bahwa akan terjadi penyerangan dari kelompok OPM di bawah pimpinan Johanes Jambuani ke pos TNI Kebar. Surat tersebut diisi dalam kotak korek api kayu dan dititipkan kepada dua siswa dari SD, dimana guru katekis itu mengajar, untuk mengantar ke Kebar, dengan berjalan kaki sekitar 9-10 jam perjalanan.
Mendekati Injai, ibu kota Distrik Kebar (sekitar daerah Musi Lama), kedua anak itu bertemu dengan masyarakat (pasangan suami-istri) yang hendak bepergian ke kebun. Kedua anak itu ditanya oleh masyarakat yang berpapasan dengan mereka itu.
“Kamu dua dari mana dan mau kemana?” Kemudian kedua anak itu menjawab bahwa mereka ke Kebar untuk mengantar korek api ke pos tentara.
Di situ muncul perasaan mencurigakan, hingga masyarakat pun meminta izin kepada kedua anak itu, untuk memperlihatkan korek api tersebut.
Mereka meraih korek api dari tangan kedua anak itu, lalu membukanya. Dan ternyata secarik kertas dilipat rapi, dengan alamat tujuan pos tentara Kebar.
Dalam surat tersebut berisi pesanan bahwa kelompok OPM pimpinan Johanes Jambuani telah berada di Kebar, dan segera menyerang pos tentara Kebar pada 28 Juli 1965.
Sepasang suami-istri itu pun mencekal surat itu. Mereka mengatakan kepada kedua anak ini agar surat itu dititipkan kepada mereka, agar mereka mengantarkannya ke pos tentara di Kebar.
Mereka lalu menyuruh kedua anak itu pulang ke kampung dan menyampaikan kepada gurunya, bahwa suratnya sudah diserahkan ke pos Koramil Kebar.
Saat itu juga suami-istri ini membatalkan perjalanan ke kebun dan pulang ke rumah. Mereka menyampaikan hal tersebut secara diam-diam kepada beberapa masyarakat di Kebar.
Surat itu diteruskan kepada Jambuani dan pasukannya bahwa rahasia tentang rencana penyerangan ke pos Kebar sudah ke pihak lawan.
Setelah mendapat informasi tersebut, Jambuani bersama pasukannya bergegas mengubah sikap dan rencana penyerangan serempak tanggal 28 Juli 1965, dengan mendahului menyerang Pos Koramil Kebar pada 26 Juli 1965. Artinya, OPM menyerang lebih awal agar informasi keberadaan dan tujuan mereka tidak tersebar luas dan diketahui TNI.
Setelah serangan di pos tentara Kebar dan markas Arfai, Kebar menjadi medan perang OPM vs TNI–yang diterjunkan setelah beberapa hari informasi penyerangan di Kebar sampai ke kuping pejabat militer di Manokwari dan Markas TNI di Jakarta.
Gelombang penyisiran dan operasi militer pun terjadi. Masyarakat Kebar mengungsi ke hutan, sebagian ditangkap, disiksa, dibunuh, dan ditembak oleh tentara.
Salah seorang korban atas nama Waniopi, yang ditangkap di kampung Anjai, lalu dipaksa untuk mengaku atau memberitahu tempat persembunyian Johanes Jambuani dan pasukannya. Ia dipaksa untuk berjalan di depan dan mengantar para tentara untuk mencari gerombolan OPM. Setelah mereka sampai di sebuah kebun, dia hendak melewati pagar yang mengapit kebun tersebut, ia ditembak dari belakang.
Itulah kisah pilu dan romantika seorang tokoh OPM Johanes Kaprimi Jambuani, dengan melakukan tembakan pertama di Kebar pada 26 Juli 1965.
Rasa-rasanya pas juga Jambuani diberi nama Bitia atau batu yang diidentikkan dengan benda yang keras, kuat, dan teguh. Batu juga memiliki simbolisme dari sebuah kekuatan yang mampu bertahan dari gempuran ombak, buih arus air, dan gelombang.
Batu tetap meluncur tanpa hambatan alias tidak terapung ketika ditenggelamkan. Hingga sampai kapan pun, batu tetap pada posisinya, tidak berpindah tempat atau lapuk.
Ombak atau gelombang air seringkali digunakan sebagai metafora kekuatan alam yang dapat merusak, menghancurkan, dan meluluhlantakkan apa pun yang diterjangnya. Semua bisa hancur dan berantakan, tetapi sangat jarang menghancurkan batu yang teguh, kecuali karena tetesan air yang berulang kali.
Dan seorang Johanes Jambuani telah mengarungi medan perang yang dahsyat di semenanjung Kepala Burung. Ia berdiri teguh seperti batu karang. Ia bahkan tidak hanya berdiri di tepian gelombang sejarah, tetapi juga ikut membuat sejarah.
John berperan sebagai peselancar yang mampu menaklukkan ombak ganas. Dan ia telah menjadi seperti apa yang dikatakan Marcus Aurelius (121-180 SM), kaisar dari Romawi, bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kokoh, bahkan ia menentramkan amarah ombak dan gelombang itu. Bersambung. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan advokat muda Papua