Oleh: Laus Deo Calvin Rumayom
Di tengah kemunduran industri sepak bola di tanah air, masyarakat Papua tetap setia mencintai sepak bola. Saya pun merasa terharu. Dan tentu kita boleh berbangga atas kesetiaan dan kecintaan masyarakat Papua terhadap sepak bola.
Memang siapapun kita dan dari latar belakang apa pun, harus sadar mengapa kita hidup di Tanah Papua. Bahwa kecintaan terhadap sepak bola lahir dari sejarah panjang peradaban Papua.
Sejarah mencatat bahwa peradaban Papua dimulai dari doa sulung dua orang Zendeling, Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler: “Dengan nama Tuhan, kami menginjak tanah ini”. Ketika itu di hari Minggu pagi sekitar pukul 06.00 WIT mendarat di Pulau Mansinam dan pertama kali menginjakkan kaki di pantai pasir putih Pulau Mansinam, 168 tahun lalu.
Sekalipun dua misionaris berkebangsaan Jerman itu telah meninggal, buah dari pekerjaan mereka telah mengubah peradaban orang Papua. “Dahulu kamu hidup dalam kegelapan, sekarang kamu hidup dalam terang”.
Dominee Izak Samuel Kijne, anak muda berkebangsaan Belanda, dari Rotterdam ke Mansinam, Papua Barat, kemudian menetap di Teluk Wondama. Kijne bekerja sebagai guru. Menekuni pekerjaan sebagai seorang pendidik bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi pendidik suku bangsa berkulit hitam yang dilakukan oleh orang kulit putih sangatlah susah.
Namun demikian, Dominee I.S. Kijne tetap bersemangat untuk bekerja dan meletakkan dasar yang kuat, sebagai fondasi pembangunan peradaban baru orang Papua.
“Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, 25 Oktober 1925).
Ini adalah sebuah pesan dari bapak peradaban orang Papua. Pesan ini memiliki makna, bahwa suatu saat nanti orang Papua tampil sebagai pemimpin di tanah leluhurnya sendiri, meskipun ada banyak orang dengan berbagai latar belakang berdatangan.
Dominee I.S. Kijne juga dalam perenungan dan pergumulan panjang menghadapi dinamika pembangunan di Tanah Papua. Kijne berpesan, “Barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan jujur dan dengar-dengaran, maka ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain” (I.S. Kijne, 1947).
Dari sejarah panjang pembangunan Tanah Papua, pasti ada sesuatu yang kita pelajari dari para tokoh zending dan misionaris, tentang siapa mereka dan bagaimana kita dibangun. Tentu muncul kesadaran di benak kita, bahwa dasar pembangunan Papua telah diletakkan, dan bagaimana kita melanjutkannya dalam berbagai sektor pembangunan di Tanah Papua. Sektor olahraga, khususnya sepak bola, hendaknya menjadi prioritas.
Dua hal penting yang diajarkan oleh Kijne bagi anak-anak Papua pada masanya ialah “bernyanyi dan bermain bola”. Hal inilah yang menginspirasi Bapak Pdt. Mesak Koibur (Pimpinan Sinode GKI di Tanah Papua) pada masanya melahirkan klub sepak bola, yang kini kita kenal dengan nama Persipura Jayapura–tim yang hebat dan dihormati dalam kancah sepak bola nasional dan internasional.
Artinya, bernyanyi dan bermain bola adalah dua hal, yang tidak bisa dipisahkan dari hidup dan budaya orang Papua.
Usai PON Papua kali lalu, Presiden Jokowi mencanangkan Papua sebagai provinsi olahraga di Indonesia. Ini adalah sebuah berkat yang harus disyukuri dengan berbagai fasilitas olahraga yang mewah dan memadai, juga terbaik di Indonesia dan kawasan Pasifik. Selanjutnya itu harus dikembangkan untuk menjadi berkat bagi generasi muda dan generasi emas Papua.
Sepak bola harus menjadi model atau metode pengembangan sumber daya manusia Papua yang cerdas dan berkualitas. Sepak bola bukan hanya sebuah olahraga, melainkan juga sebuah spirit, roh dan kekuatan, untuk mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa.
Kita dapat belajar dari bangsa lain di dunia, seperti, Brazil, Argentina, Afrika, Maroko, dan beberapa negara lainnya. Mereka adalah negara berkembang yang juga punya permasalahan sosial, politik, budaya, dan ekonomi jauh lebih buruk dari Indonesia. Namun, sepak bola mereka bisa mengangkat martabat ekonomi dengan industri sepak bola yang berkembang begitu pesat di dunia.
Papua pasti bisa. Ini adalah sebuah permulaan yang baik, tidak ada kata terlambat dan tertinggal. Semua harus dimulai dari cara berpikir kita tentang kita dan kemana kita akan pergi untuk mencapai sebuah tujuan bersama, yaitu “kebangkitan sepak bola Papua”.
Pertanyaan penting bagaimana kita bisa bangkit? Tentu ini momen dan waktu Tuhan untuk menjawabnya secara arif dan bijaksana.
Football for God (sepak bola untuk Tuhan) harus ditetapkan sebagai dasar fondasi berpikir kita, sebagai orang-orang yang menjaga dan melanjutkan warisan peradaban Papua, yang telah diletakkan oleh Dominee I.S. Kijne bagi generasi Papua. Bermain bola bukanlah sekadar untuk mengekspresikan skill atau kemampuan diri.
Namun, di sanalah terpancar kasih dan penyertaan Allah terhadap sebuah bangsa. Dengan memajukan sepak bola Papua kita akan melihat satu tanda heran ke tanda heran lainnya.
Bermainlah seperti apa yang kau dengar dari suara hatimu. Jangan sombong karena ketenaran. Tetaplah rendah hati dan berkata: hari ini saya bermain bola untuk Tuhan, dan Tuhan akan mengubah nasib dan masa depan Tanah Papua, Indonesia dan dunia. (*)
Penulis adalah pendiri dan Ketua Umum Analisis Papua Strategis