Oleh: Immount de Dthem
Perdebatan soal Otsus Papua dan DOB di Tanah Papua belum berakhir. Pro-kontra masih terjadi hingga saat ini. Bila melihat dinamika ini, pada satu sisi memang menyiksa sekaligus menjengkelkan.
Namun di lain sisi sangat menarik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya yang menyebabkan kebijakan tersebut dipaksakan saat mayoritas orang Papua menolaknya.
Saya tidak tertarik mencari tahu lebih jauh dan serius soal kausalitasnya, meskipun pemerintah dan kelompok nasionalis pro kemerdekaan Papua akan banyak berdalih, bahkan menyangkal mati-matian soal penyebab utamanya. Karena indikasi dalam segala bentuk kebijakan pemerintah, termasuk Otsus dan DOB serta penolakannya, berputar dalam dua siklus kepentingan, yaitu; kepentingan politik dan ekonomi.
Kepentingan politik berkaitan dengan kekuasaan (pemerintah) “kolonial” di mata orang Papua, dan juruselamat bagi orang Papua di mata pemerintah berwenang. Namun kepentingan ekonomi ini melibatkan para kapitalis dan imperialis global.
Kepentingan politik dan ekonomi di Papua menjadi siklus yang memiliki interaksi serius—saling membutuhkan dan tak terpisahkan. Satu sama lain saling mendukung dan menguatkan. Bahkan menjadi kunci penentu “mati hidup” di tanah Papua.
Tapi sekarang saya tidak mau “pusing” perihal itu. Saat orang sibuk berdebat soal Otsus Papua dan pemekaran di tanah Papua, saya hanya ingat pengalaman saya tahun 2006. Waktu itu saya mengikuti dinamika politik lokal, titik awal pihak berwenang mulai mereduksi budaya dan kebiasaan masyarakat di Kampung Yogonima, Distrik Itlayhisage, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Saya menulis pengalaman di kampung ini sebelum maraknya pemekaran kampung dan distrik; menjelang dan pasca pilkada, hingga proses pendataan penduduk di kampung dan distrik baru.
Pengalaman saya terkait pendataan penduduk saat itu mengingatkan saya untuk membayangkan bagaimana nanti masyarakat dan pemerintah memverifikasi dan memvalidasi data penduduk orang asli Papua pasca pengesahan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi di Tanah Papua.
Saya takut pengalaman saya terulang kembali. Dimana saya mendata sebagian besar orang bukan penduduk sebenarnya, tapi data itu diterima oleh pemerintah daerah.
Angka pada statistik, termasuk dalam pemilihan umum (pemilu) belakangan ini pukul tinggi, tetapi fakta di lapangan menunjukkan jumlah penduduk tidak seberapa.
Saya rasa bahwa di kampung-kampung, distrik, kabupaten/kota dan provinsi baru nanti tidak mengalami hal seperti itu. Bahwa jumlah orang Papua hanya di atas kertas, tetapi fakta di lapangan berbeda.
Tulisan ini murni pengalaman saya ketika diminta oleh kepala Kampung Yogonima pertama dan saya banyak memanipulasi data. Tetapi data itu dapat diterima, diakui dan masih digunakan oleh pemerintah pusat.
Kebiasaan yang luhur
Sejak ada di Kampung Yogonima, 7 Maret 1994, hampir 20 tahun saya habiskan bersama dengan bapak Hageyarogo Wita, tokoh adat yang memiliki banyak pengetahuan tentang mitologi, budaya dan adat.
Ia memiliki dua istri; Kulawaga Hisage dan Yokohe Halitopo. Anak-anaknya ada tujuh orang. Empat laki-laki dan tiga perempuan. Semuanya penganut Katolik.
Hubungan saya dengan masyarakat di kampung ini cukup baik, karena sudah terbangun lama. Saya tumbuh dan berkembang dalam budaya masyarakat adat setempat. Makan-minum, tidur-bangun bersama masyarakat di kampung.
Saya sudah cukup lama merasakan suka duka bersama mereka, sehingga paling tidak, saya tahu dinamika sebelum dan sesudah pemekaran kampung dan distrik di wilayah Itlay Hisage.
Tahun 2006 dihelat pemilihan bupati dan wakil bupati di Jayawijaya. Saya tidak tahu perihal pemilu ini. Karena itu saya hanya menyibukkan diri dengan mendampingi masyarakat di kelas terbuka, agar mereka tahu tentang pendidikan dan budayanya.
Setiap hari saya menyaksikan mereka bagaimana membabat dan membakar rumput, mencari tali, kayu buah, membuat pagar kebun, mencabut akar pohon, mengikat kayu, membangun rumah, menyusun batu pagar, membuat camp dan berburu di hutan, mencari ulat kayu di hutan, memberi makan babi, kasih keluar babi dari kandang, menjemur babi, kasih masuk babi dalam kandang, menanam buah merah, petatas, membuat gelang, menganyam noken, dan masih banyak lagi.
Masyarakat mulai melupakan kampung
Sebelum pemilihan itu, orang-orang di kampung mulai cerita dalam duka, pesta adat, sebelum atau sesudah sembahyang pada hari Minggu dan lainnya. Mereka tidak lagi bicara seperti dulu; berbicara tentang mitologi, peperangan, inisiasi adat, pesta adat, acara nikah, dan lain sebagainnya. Akan tetapi, mereka mulai menyibukkan diri dengan sosok siapa yang harus mereka pilih.
Gejala awal pemekaran ini saya ikut dengan baik dari honai, hutan, perkebunan, sepanjang perjalanan, dan gereja.
Pada suatu hari, bapa Hageyarogo ke kota. Biasanya dia kalau ke kota balik cepat. Kalau tidur dan urusan penting, berarti paling lambat satu atau dua hari tidur di kota. Baru kembali lagi ke kampung.
Tapi kali ini dia tidak balik-balik. Kami di rumah, termasuk istri dan anak-anaknya mulai gelisah dan menanyakan keberadaannya, karena dia tidak pulang dalam waktu yang cukup lama.
Saat itu orang-orang di kampung jarang pegang handphone. Sungguh pun ada setengah mati dengan pulsa, sehingga jalan satu-satunya untuk memastikan keberadaan bapa Hageyarogo ini harus ke kota.
Kedua istri dan beberapa anaknya pun turun ke kota, untuk mencari paitua ini.
Kalau ketemu orang sekampung atau dari Pugima, Siepkosi, dan sekitarnya yang kenal dengan bapak ini langsung ditanyai.
Jawaban mereka bermacam-macam. Terakhir ada yang memberi tahu, bahwa bapak berpostur tinggi dan dikagumi banyak perempuan sewaktu muda dengan rambut lingkarnya ini, ikut dalam tim sukses salah satu calon bupati.
Setelah bertemu dengannya, pihak keluarga meminta agar dia meninggalkan urusan politik di kota dan kembali ke kampung, untuk berkebun, beternak, berburu, dan lain-lain.
Kedua istri meminta dengan sangat, karena mereka kesulitan mencari kayu bakar ketika bapak tidak ada. Mereka juga takut anak-anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayangnya, dan mengkhawatirkan nasib dan masa depan keluarga.
Namun, bapa menyarankan anak-anak dan kedua istrinya pulang, karena dia akan pulang dua hari ke depan.
Sementara itu, anak-anak dan istri terus gelisah. Mereka mulai kesusahan mencari kayu bakar, untuk memasak petatas dan makanan ternak.
Honai makin sepi. Tamu-tamu dari kampung tak kunjung masuk/berkunjung, sebab bapak tidak ada dan tidak pernah bikin api di honai adat. Malah makin dingin, nyamuk mulai membuat sarang dan makin bau. Yang biasa jaga dusun itu, ipar-ipar dari ibu Kulawaga, seperti bapak Hawarogo, Ukumai, dan Ilipus Hisage. Tapi mereka menetap di Wesaput.
Untuk mengandalkan anak-anak mencari kayu bakar juga tidak bisa karena mereka bersekolah di kota. Di rumah hanya dua istrinya ini. Akhirnya, perempuan yang tidak biasa pegang kapak untuk belah kayu mulai ambil alih peran bapak.
Ini merupakan gejala awal pemekaran yang saya alami, ketika orang Papua sibuk dengan urusan politik dan meninggalkan kampung halaman; lupa berkebun, beternak, berburu, meramu dan bekerja untuk menjamin kehidupan keluarga.
Budaya yang bagus itu mulai hilang karena masyarakat menyalibkan diri atau disalibkan secara diam-diam dan halus dalam pola hidup ataupun dependensi sistem politik etis baru melalui pemekaran tadi. Bersambung. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura
Discussion about this post