Oleh: Soleman Itlay
Cukup menarik untuk mempelajari sejarah Pater Le Cocq d’Armandville, SJ dan dasar gereja Katolik di Tanah Papua, seperti semua orang melihat Santo Petrus sebagai gembala dan ketua dari para rasul yang menjadi uskup di Roma (paus pertama dalam hierarki Gereja Katolik), pada gereja purba.
Pater Le Cocq d’Armandville, SJ lahir di Delft, Belanda, 29 Maret 1846. Masuk di Sekru, Fakfak, Papua Barat pada 22 Mei 1894. Sayangnya dia sendiri tidak tahu pada suatu hari nanti tewas secara misterius di Kipia Mapa, Kokonau, Timika Barat, Papua, 27 Mei 1896.
Sayang, jauh-jauh dari tanah misi (Eropa) meninggal dunia di tempat yang jauh dari sanak saudara di kampung halamannya. Keluarga hanya bisa menerima kabar bahwa “Sang Jago Tuhan” itu telah mendahului mereka setelah merintis dua tahun di “Tanah Hitam” atau Papua.
Papua merupakan negeri yang paling ditakuti oleh orang luar pada waktu itu, karena dianggap neraka para kanibal. Ini merupakan sebuah pandangan sesat, karena tak semua seperti demikian kala itu.
Dia hanya dua tahun di Tanah Papua atau lima tahun setelah Van der Heyden mensurvei lebih awal sejak 1891 atas perintah Kruiser di Ambon, Maluku.
Kematiannya 126 tahun lalu hingga kini masih misterius. Akan tetapi, informasi yang masih diperbincangkan sejauh ini menyebutkan beberapa spekulasi. Kematian pastor Yesuit (sebutan untuk religius ordo SJ) ini karena beberapa sebab, diantaranya, 1) ombak menghantamnya; 2) orang Mimika Wee membunuhnya; dan 3) kapten dan anak buah kapal menghilangkan jejaknya.
Sebenarnya tidak sulit di zaman sekarang ini apabila melakukan uji forensik di laboratorium dengan segala berkas dan bekas perkakas yang ditinggalkannya yang masih tersimpan di NTT, dengan menggunakan teknologi digital modern. Ataukah Gereja mengetahui penyebab sebenarnya kematian “Sang Jago Tuhan” itu, tetapi dokumen tentang kematiannya disimpan rapi?
Jesuit dan Gereja Katolik di Tanah Papua mempunyai tanggung jawab moral yang sangat besar, untuk memperjelas “ketidakjelasan” tentang penyebab kematian Pater Le Cocq.
Gereja harus jujur. Semua orang, bahkan keluarga yang masih hidup pun harus jujur. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memperjelas dan meluruskan sejarahnya.
Selama status kematian belum jelas, orang dan gereja ini tidak akan tumbuh dan berkembang baik. Pihak korban maupun pelaku serta semua pihak terkait harus sama-sama mendorong proses rekonsiliasi historis.
Terlepas dari itu, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ sudah membuka jalan misi dari kesulitan, keterbatasan dan bahaya. Ia telah memberikan corak khas historisitas sekaligus membedakannya dengan agama atau gereja lain di Tanah Papua.
Belakangan ini, orang kalau hendak membangun gedung gereja, dan lainnya kebanyakan meletakkan batu pertama. Tapi ini tidak, Pater Le Cocq menjadikan dirinya sebagai batu penjuru misi Katolik di Tanah Papua. Kemudian penerusnya mengambil batu itu untuk melanjutkan misi.
Dengan kata lain, gereja meletakkan batu pertama yang ditinggalkan Pater Le Cocq untuk mendirikan gereja Katolik di Tanah Papua. Ini merupakan bentuk makna yang bersifat historis, metafisik dan religiositas.
Keringat, hosa, darah, air mata, perjuangan, pengorbanan dan kehilangan nyawa tidak sia-sia. Karena itu menjadi dasar, semangat gereja dan jaminan bagi gereja Katolik dari Roma hingga Papua.
Tidak dapat disangkal, bahwa misi gereja Katolik di Tanah Papua dibayar mahal dengan nyawa pastor dengan nama lengkap Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville itu. Tapi misi penyebaran injil masih bahkan hingga ke ujung dunia. Sejauh ini penulis belum mengetahui, bahwa Gereja Katolik Papua mengakui atau menggelar Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville dan Pater Henri Nollens MSC dkk. sebagai martir dan misionaris pertama dalam misi Katolik di Papua.
Menarik, jikalau kelak muncul cerita seperti ini: benihnya ditanam di “Kepala Burung”, gugur di sekitar jantung hati pulau ini dan tumbuh mekar kembali dari paha kaki Bumi Cenderawasih tercinta.
Bolehkah Pater Heyden disebut babat (rumput) jalan masuk, Pater Le Cocq menanam benih, Pater Henri Nollens dkk menghidupkan benih yang gugur dan misionaris OFM (Ordo Fratrum Minororum), OSA (Ordo sancti Augustini), OSC (Ordo Sanctae Crucis) dan lain-lain merawat, mengembangkan dan menikmati bersama umatnya?
Apakah boleh disebut bahwa Serikat Jesus (Yesuit) pembabat kebun dan tinggalkan benih, MSC (Societas Missionariorum Sacratissimi Cordis Jesu) menanam benih dan mengembangkannya, dan yang lainnya memperluas kebun (anggur Tuhan) dan meningkatkan buah dan hasilnya?
Sang Jago Tuhan memulai misi sejak 128 tahun lalu di Fakfak dengan berani meski harus kehilangan nyawa dan meninggalkan sanak saudara dan kampung halamannya. Ia telah meninggalkan pekerjaan besar.
Semoga 100 sampai 1000 tahun besok, gereja Katolik Papua tidak berjalan sendiri dan tidak melupakan sejarah masa lalu. Semua orang berkehendak baik dan ingin sekali agar Gereja memperjelas sejarah dan menetapkan Hari Misi Katolik di Tanah Papua, supaya umat tumbuh dan berkembang baik.
Selain itu, supaya kelak lima keuskupan di Tanah Papua tidak merayakan Hari Misi Katolik di Tanah Papua di keuskupannya sendiri. Akan tetapi, Hari Misi Katolik diperingati secara bersama-sama dalam kesatuan umat beriman di Tanah Papua.
Selamat mengenang jejak Pater Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ yang ke-128 tahun (22 Mei 1894-22 Mei 2022). Tuhan memberkati. (*)
Penulis adalah umat Katolik Papua, tinggal di Jayapura
Discussion about this post