Lismore, Jubi – Suasana di jalan-jalan utama tampak lengang, saat kami tiba di Kota Lismore, Australia pada Senin sore (15/4/2024). Hanya terlihat satu, dua warga sedang berjalan kaki, dan bersepeda, menyusuri jalan.
Cuacana pada sore itu mendung, dan Lismore nyaris seperti kota tanpa penduduk. Sebagian besar pertokoan pun telah mengakhiri aktivitas mereka pada pukul 16.00 waktu setempat.
Suasana di Lismore sangat kontras dengan di Wolonggon, Sidney, Canberra, dan Adelaide. Banyak kendaraan dan pejalan kaki masih berkeliaran di jalan hingga menjelang malam di kota-kota yang kami kunjungi sebelumnya tersebut.
Lismore menjadi salah satu lokasi pergelaran West Papua Mini Festival Film I. Festival tersebut memutar lima sinema dokumenter tentang Tanah Papua yang diproduksi Jubi.
Pemutaran film di Lismore dihadiri para pemuda, aktivis hak asasi manusia, jurnalis, dan warga setempat. Gilbert Laurie, Kepala Adat Aborigin di Lismore menyambut kedatangan Tim Jubi di lokasi pemutaran film tersebut.
Laurie melakukan ritual penyambutan dengan membakar beberapa batang kayu pendek dan dedaunan dalam sebuah wadah. Dia kemudian mempersilakan Tim Jubi mengusapi wajah mereka dengan asap dari pembakaran itu, sebelum masuk ke ruang pemutaran film.
“Bangsa West Papua dan Bangsa Aborigin adalah keluarga. Mereka datang dari jauh sehingga saya harus menerima mereka secara adat,” ujar Laurie.
Dia mengatakan Rakyat West Papua dan Aborigin juga bernasib sama. Mereka sering menjadi korban diskriminasi rasial.
“Kami turut merasakan apa yang dirasakan orang-orang West Papua. Kita harus berjuang untuk keluar dari penjajahan, dan praktik rasisme terhadap orang Papua, dan Aborigin,” kata Laurie.
Melawan disinformasi
Jubi menggelar pemutaran film keliling di Australia untuk mengenalkan kondisi Tanah Papua kepada masyarakat luas di sana. Fakta itu kerap ditutupi pemerintah Indonesia.
“Persoalan Papua itu panjang [pelik], tetapi tidak diketahui publik international. Kami bisa membantu saudara-saudara di Tanah Papua untuk mendapatkan keadilan, perdamaian, dan solidaritas [internasional],” kata Saul, seorang penonton West Papua Mini Festival Film I di Lismore.
Ada lima film dokumenter produksi Jubi ditayangkan secara bergilir di West Papua Mini Festival Film I. Film itu ialah Sa Pu Nama Pengungsi, Saat Mikrofon Menyala, Mutiara Hitam: Para Jenderal Lapangan, Suara dari Lembah Grime, dan Pepera 1969: Integrasi Demokratis?
“[Fakta mengenai kondisi di] West Papua masih tertutup akibat disinformasi yang tiada henti di Indonesia dan penindasan terhadap media serta kebebasan berpendapat terhadap Orang Asli Papua. Indonesia takut orang luar [dunia internasional] tahu tentang masalah di West Papua,” kata Ronny Karenu, aktivis prokemerdekaan West Papua, mengomentari penayangan lima film dokumenter besutan Jubi.
West Papua Mini Festival Film I bergulir sejak Selasa (9/4/2024). Debutnya dimulai di UOW Main Campus University of Wollongong. Setelah itu, berlanjut di Sydney, Canberra, Adelaide, dan Brisbane. Setelah di Lismore, penyelenggaraannya masih berlanjut di Hobart, Melbourne, dan Darwin.
“Kami membuat film dokumenter ini untuk menyampaikan tentang kondisi West Papua yang sesungguhnya. Cerita dalam film ini ril, tetapi orang luar tidak tahu masalah yang dihadapi orang Papua,” kata Pendiri Media Jubi Victor C Mambor, yang juga penggagas West Papua Mini Festival Film I.
Lima film dokumenter tentang Tanah Papua besutan Jubi diluncurkan pada Agustus tahun lalu dengan menggelar nonton bareng dan diskusi di Yogyakarta, Jakarta, serta Jayapura. Karya dokumenter tersebut juga dapat disaksikan melalui kanal youtube, Redaksi JubiTV. (*)
Discussion about this post