Jayapura, Jubi – Kepala Misi Papua Barat yang berkedudukan di Port Vila, Freddy Warome, telah menyampaikan rasa terima kasih kepada Perdana Menteri (PM) Charlot Salwai dan pemerintah petahana, karena telah mengizinkan delegasi Papua Barat atas nama Benny Wenda, Tn. Edison Warome, dan Juru Bicara Internasional Raki Ap, untuk bergabung dengan delegasi Vanuatu di Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tonga dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Ucapan terima kasihnya khususnya disampaikan kepada Dewan Kristen Vanuatu (VCC), Dewan Kepala Suku Malvatumauri, dan rakyat Vanuatu atas kemajuan perjuangan Papua Barat di panggung diplomatik internasional.
“Ini adalah pertama kalinya Departemen Luar Negeri Vanuatu mengizinkan delegasi Papua Barat untuk mendampingi delegasi Pemerintah Vanuatu ke PBB, dan Pemerintah Sementara Papua Barat serta rakyat Papua Barat sangat berterima kasih atas hal ini,” kata Warome kepada dailypost.vu yang dikutip jubi.id Minggu (6/10/2024).
“Pada PIF ke-79, mereka menegaskan kembali resolusi yang ada untuk Komisi Hak Asasi Manusia untuk mengirim Misi Pencari Fakta PBB ke Papua Barat,”ujarnya.
“Tahun ini, delegasi Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) beruntung dapat meninjau kembali inisiatif tersebut dan setuju untuk mengadvokasi Misi Pencari Fakta PBB untuk mengunjungi Papua Barat.”katanya.
Warome mencatat, Misi Pencari Fakta PBB mungkin akan mengajukan permintaan kepada Majelis Umum untuk persetujuan perjalanan ke Papua Barat.
Namun, resolusi ini tidak diterima oleh militer Indonesia, di mana Kepala Misi mengklaim tentara telah secara sistematis membunuh lebih dari setengah juta orang Papua Barat dalam enam puluh tahun terakhir sejak OPM mengibarkan bendera kemerdekaan pertama negara itu pada tanggal 1 Desember 1961.
“Dalam beberapa tahun terakhir, militer Indonesia telah membunuh 300 warga Timor Timur dan mengubur mereka di kuburan massal, yang dikonfirmasi oleh Misi Pencari Fakta PBB di negara tersebut,” kata kepala misi.
“(Diduga) itu merupakan tamparan di wajah Indonesia yang, sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia, tidak dapat menyembunyikan kejahatan yang dilakukannya dan membiarkan PBB mengawasi referendum yang dilakukan rakyat Timor Timur pada tahun 1999, yang mendorong negara yang sekarang disebut Timor Leste untuk merdeka pada tanggal 20 Mei 2002.”
Ketika ditanya tentang bagaimana Jakarta akan bereaksi terhadap desakan terbaru untuk resolusi di Papua Barat, Tn. Warome, mantan komandan prajurit yang memerangi pasukan Indonesia di Oegunungan, berkata, “Indonesia takut karena di Timor Timur mereka hanya membunuh 300 orang Timor Timur, sedangkan di Papua Barat, mereka telah membunuh lebih dari setengah juta orang Melanesia.
“Begitu Tim mengungkap kebenaran, proses yang sama akan dilakukan seperti di Timor Timur,”tambahnya.
Warome mengatakan, menjadi tanggung jawab Komnas HAM untuk mengingatkan Indonesia agar mematuhi aturan, karena Jakarta merupakan anggota Komisi HAM PBB.
“Menolak mengizinkan jenazah tersebut masuk ke Papua Barat akan langsung menyiratkan adanya agenda tersembunyi,” kata Kepala Misi.
Sementara itu, dalam pertemuan terpisah dengan Vanuatu Free West Papua Association (VFWPA) dan Dewan Kepala Suku Maraki Vanua Riki di Kantor Pendidikan SHEFA, Utusan Khusus Papua Barat Tn. Morris Kaloran mengonfirmasi keikutsertaannya dalam delegasi Vanuatu ke pertemuan PIF di Tonga.
“Mendengarkan intervensi PM Salwai di Papua Barat benar-benar seperti menyambut fajar baru bagi perjuangan Papua Barat,” kata Kaloran.
“Sederhananya, merupakan suatu perasaan yang memuaskan bagi VFWPA dan ULMWP bahwa Vanuatu mengonfirmasikan kepada PIF bahwa mereka tetap berada di jalur yang tepat untuk kebebasan Papua Barat,”katanya.
“Papua Barat dimasukkan dalam komunike para Pemimpin PIF.”tambahnya.
Baik Kepala Misi maupun Utusan Khusus menggambarkan intervensi PM Salwai sebagai tanda harapan bagi Papua Barat. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!