Jayapura, Jubi – Greenpeace Indonesia memperkirakan sekitar 7,5 juta hektare hutan alam di Tanah Papua berpotensi hilang beserta sumber daya alam lainnya, akan dikorbankan demi memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan daerah di empat provinsi baru, yakni Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Hal itu disampaikan juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma, saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Sabtu (20/1/2024).
“Dengan daya dukung fiskal yang lemah dan terbatas sebagai daerah otonomi baru dalam rangka membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah maka provinsi baru akan fokus mendorong kehadiran investasi berbasis lahan dengan harapan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah,” ujarnya.
Wamafma mengatakan empat provinsi baru tersebut membutuhkan lahan untuk perkantoran, pembangunan infrastruktur pendukung, dan pertumbuhan ekonomi untuk memperkuat fiskal daerah.
“Jika tidak dilakukan dengan pendekatan pembangunan yang bijaksana dan baik maka pemekaran provinsi maupun kabupaten-kota akan berdampak pada kerusakan lingkungan termasuk deforestasi hutan alam di Tanah Papua,” ujarnya.
Belajar dari perjalanan Papua selama 1963-2021, lanjut Wamafma, pembangunan dan investasi di Tanah Papua lebih berdampak eksploitatif terhadap hutan dan SDA milik masyarakat adat Papua dibanding berdampak pada peningkatan kualitas hidup seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi namun lebih banyak terjadi konflik hak-hak atas tanah, hutan, dan SDA serta pelanggaran HAM.
“[pertentangan] Antara negara dan korporasi atau perusahaan melawan masyarakat adat Papua yang tidak terselesaikan dengan baik hingga saat ini dan masih menjadi bara api yang terpendam. Situasi ini akan semakin memburuk setelah pemekaran provinsi tetap dipaksakan terjadi di Tanah Papua,” ujarnya.
Pemerintah di empat provinsi baru tersebut, katanya, harus belajar dari proses yang telah dilalui Provinsi Papua dan Papua Barat serta melihat kondisi kehidupan masyarakat adat Papua dimana pendekatan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif telah mengakibatkan deforestasi hutan alam Papua, kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati penting, serta dilanggarnya atau hilangnya hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah, hutan, dan SDA lainnya.
“Jika tidak maka pendekatan dan proses yang sama akan diulang kembali dan akan semakin banyak mengorbankan atau menghilangkan hutan alam Papua. Hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang lebih luas serta marjinalisasi hak-hak dan kehidupan masyarakat adat Papua di atas wilayah adatnya. Masyarakat adat Papua akan berdiri menjadi saksi bisu hilangnya hak dan rusaknya wilayah kehidupan dan identitas serta masa depannya,” ujarnya.
Menurut Wamafma dalam dua dekade terakhir Greenpeace Indonesia mencatat lebih dari 641.400 hektare hutan alam di Tanah Papua hilang dengan fokus utama di Merauke, Boven Digoel, Nabire, Mimika, Mappi, Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong, Manokwari, dan Kaimana.
Sementara itu, di era pemerintahan Jokowi, 2014 hingga saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibawah kepemimpinan Siti Nurbaya telah melepaskan lebih dari 296.378 hektare hutan alam untuk berbagai kepentingan perizinan termasuk dialokasikan untuk Proyek Strategis Nasional Food Estate maupun proyek infrastruktur jalan dan jembatan Trans Papua sepanjang lebih dari 4.600 km dari Sorong sampai Merauke. (*)
Discussion about this post