Jayapura, Jubi – Youngsolwara Pasifik meminta Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut dengan Indonesia terkait kunjungan ke Papua. Para aktivis West Papua dan Pasifik membuat seruan kepada PBB dan badan hak asasi manusia yang relevan untuk melakukan campur tangan mengatasi masalah di West Papua.
“Kita tidak dapat memajukan hak asasi manusia seperti dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sambil mengabaikan genosida yang sedang terjadi West Papua,” demikian kata Cynthia Houniuhi dari Youngsolwara Solomon Islands dalam pernyataannya yang diterima Jubi, Kamis (1/12/2022).
Menurut Houniuhi, Orang Asli Papua akan terus ditekan, disiksa, dan dilanggar haknya jika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan mitra internasional tetap diam. “Berkali-kali para pemimpin Pasifik dan dunia berpidato di Majelis Umum PBB, menyerukan agar ada tindakan segera terhadap West Papua. Tetapi seruan keprihatinan itu tidak didengar,” ujarnya.
Ia menyatakan pengabaian situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua menunjukkan pengabaian terhadap martabat dan keadilan Orang Asli Papua. “Kelambatan itu adalah cermin masyarakat internasional, mencerminkan kurangnya pengakuan martabat dan keadilan bagi orang-orang Papua,” lanjut Houniuhi.
Youngsolwara Pacific dan mitra juga mengimbau Pemerintah Indonesia agar mengizinkan akses kemanusiaan secepatnya bagi organisasi kemanusiaan independen untuk memberikan bantuan berkelanjutan ke Tanah Papua. Mereka juga mendesakkan adanya misi pencarian fakta situasi HAM di Papua oleh lemaga internasional yang independen.
Youngsolwara meminta Komisaris Tinggi HAM PBB melakukan pembicaraan kembali dengan Indonesia agar mengizinkan kunjungan ke Papua secepatnya. Kunjungan itu dinilai penting untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“West Papua layak mendapatkan pertanggungjawaban untuk memastikan hak, martabat, kebebasan, dan keadilan kami ditegakkan,” kata Rosa Moiwend, dari Youngsolwara West Papua.
PBB memperingati 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini, dengan seruan penegakan martabat, kebebasan dan keadilan untuk semua. Namun, Youngsolwara Pasifik menilai seruan itu belum berlaku untuk bangsa Papua. “Setelah 59 tahun, rakyat Papua masih berjuang untuk bebas dari pendudukan kolonial Indonesia sejak tahun 1963,” tulis mereka dalam pernyataannya.
Youngsolwara menyatakan bahwa lebih dari 600.000 warga sipil Papua telah dibunuh oleh militer Indonesia. “Ribuan lainnya telah diperkosa, disiksa, atau dihilangkan secara paksa, dan semakin banyak orang mengungsi. Rasisme dan diskriminasi adalah realitas sehari-hari dan Hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan berbicara, dilarang,” tulisnya.
Mereka mengatakan ada ratusan tahanan politik West Papua yang telah dan sedang menjalani hukuman panjang karena mengekspresikan diri secara damai. Di Tanah Papua, ekspresi damai itu dianggap sebagai kejahatan.
Laporan Pelapor Khusus PBB tahun 2021 menyoroti pelanggaran HAM berat, juga mencatat peningkatan jumlah Orang Asli Papua yang mengungsi karena konflik di Tanah Papua. Amnesti Internasional dan organisasi pemantau hak asasi manusia lainnya menyoroti pembunuhan di luar proses hukum terhadap 93 korban antara Februari 2018 dan Agustus 2021.
Meskipun seruan untuk membuka akses terhadap Papua melalui misi pencarian fakta independen semakin mengemuka, Pemerintah Indonesia terus meningkatkan kehadiran militer dan pasukan keamanan. Penambahan pasukan yang didatangkan dari luar Papua itu menjadikan Papua sebagai wilayah yang sangat termiliterisasi di Indonesia.(*)