Sentani, Jubi – Kota Sentani, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, beberapa tahun belakangan mengalami kemunduran dari sisi administrasi perizinan, khususnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kawasan perkotaan, terutama di wilayah Sentani, baik timur, tengah, maupun barat.
Sekretatis Daerah) Kabupaten Jayapura Hana Hikoyabi mengatakan telah terjadi kemunduran soal pemahaman terkait pembangunan yang berbasis lingkungan.
“Ini hujan sedikit saja, kota Sentani ini seperti mau terendam dan tenggelam,” ujar Hana saat ditemui di Sentani, Selasa (16/4/2024).
Ia mengatakan banyak developer yang datang melakukan pembangunan perumahan di Sentani yang tidak mementingkan dampak lingkungan yang akan terjadi dikemudian hari.
Menurutnya, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis dalam pelayanan surat IMB seharusnya lebih peka terhadap dampak yang timbul di kemudian hari. Tidak hanya menerima dokumen persyaratannya dan gambar yang diberikan oleh developer, lalu memberikan izin dengan mudah. Perizinan terpadu akan memberikan izin setelah ada hasil survei dari dinas yang lain, misalnya PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, PDAM, serta OPD teknis lainnya.
“Satu bangunan rumah, baik itu yang kopel, hingga ruko dan industri yang akan dibangun, perangkat teknis harus sama-sama melakukan survei terhadap bangunan tersebut, apakah layak atau tidak untuk dibangun,” ujarnya.
Menurut Hikoyabi, hari ini masyarakat juga mengeluh karena sebagian daerah atau wilayah tergenang air berhari-hari. Jalan raya seperti sungai karena ada aliran air di atas aspal dan drainase tersumbat di mana-mana.
“Lokasi kota ini tepat di bawah kaki Gunung Siklop yang dialiri oleh puluhan sungai besar dan kecil dan semuanya bermuara ke Danau Sentani. Akibat pembangunan, jalan-jalan air ini ditimbun untuk kepentingan bangunan, ketika hujan, air mencari jalannya sendiri,” ujarnya.
Karena itu, kata Hikoyabi, dalam proses pembangunan yang berlangsung saat ini dan yang akan datang, soal perizinan atau IMB harus dipikirkan dengan baik dan serius. Wilayah ini juga memiliki batas untuk menampung manusia yang datang ke sini. Semua orang, katanya, harus memiliki ruang gerak yang bebas dan mendapat tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.
“Sudah ada pengalaman 2019 ketika bencana banjir bandang menimpa daerah ini dan yang terpenting adalah Kabupaten Jayapura ini sudah ditetapkan sebagai daerah bencana permanen. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang nanti terjadi,” ujarnya.
Kepala Bidang Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura Xaverius Manangsang menjelaskan ada sebagian tempat yang dahulunya ada sungai kecil dan sungai besar, namun jalan air itu telah dibendung atau ditimbun, serta dialihkan ke tempat lain yang meresap ke dalam tanah.
Ia mencontohkan sejumlah permukiman warga atau perumahan-perumahan yang berada tepat di bawah kaki Gunung Siklop. Perumahan itu sebagian di daerah resapan air dekat dengan Danau Sentani.
“Kita semua tahu sifat air, dari atas mengalir ke bawah. Jalan air yang sudah dibuatkan drainase atau gorong-gorong tidak boleh ditimbun atau dialihkan ke tempat lain atas alasan apapun,” ujarnya.
Daerah resapan seperti di pinggiran Danau Sentani yang notabene adalah hutan sagu, tidak layak untuk dijadikan kompleks perumahan. “Ketika hujan turun, dalam waktu singkat saja semua daerah ini sudah tergenang air,” ujarnya.
Warga di Perumahan Joko Indah, Kampung Yahim, Keluarah Dobonsolo, Betrant Pakpahan mengatakan ia sudah membeli rumah KPR BTN sebanyak dua kali. Satu rumah tidak ditempati karena selalu menjadi langganan banjir atau kemasukan air ketika hujan turun.
“Yang pertama di Perumahan Gajah Mada, dua hingga tiga tahun lalu, rumah yang lengkap dan standar untuk keluarga, tapi setiap bulan ada saja pengeluaran untuk beli semen, beli batu tela, dan beli pasir untuk menghambat jalannya air masuk ke rumah,” ujarnya.
Posisi perumahan yang ia tempati itu lebih dekat dengan Danau Sentani dan berada lebih rendah. Selain itu, ada aliran sungai besar sebelah selatan yang bermuara ke Danau Sentani.
“Yang tinggal di posisi rata di kota Sentani saja terendam air, apalagi kita yang berada paling rendah. Ini juga kesalahan kita yang lebih percaya developer dengan tawaran uang muka yang lebih murah,” ujarnya.
Warga pemilik kios di Jalan Sosial Sentani, Rukmini mengatakan dulu jalan masuk ke kiosnya rata. Tapi saat ini sudah agak lebih tinggi karena dibangun pembatas air.
“Dua-tiga hari air yang meluap dari selokan ke jalan raya hingga betis orang dewasa, banjirnya sampai di dalam kios ini. Sudah sering begitu, mau hujan satu hari atau lima belas menit saja, jalan raya sudah dipenuhi air seperti sungai besar,” katanya. (*)
Discussion about this post