Jayapura, Jubi – Guna merevitalisasi bahasa Tobati (salah satu kampung di Kota Jayapura), Balai Bahasa Papua menggelar aneka lomba yang dikemas dalam Festival Tunas Bahasa Ibu.
“Lomba ini diikuti siswa-siswi SD dan SMP sebanyak 60 orang [30 siswa SD usia 12-13 tahun dan 30 siswa SMP usia 13-14 tahun],” ujar ketua panitia lomba, Antonius Maturbongs, di Hotel Horison, Padang Bulan, Kota Jayapura, Rabu (19/10/2022).
Dikatakannya, ada empat jenis yang dilombakan, yaitu bercerita atau mendongeng, puisi, cerita pendek, dan nyanyian rakyat.
“Untuk tingkat SD lomba bercerita atau mendongeng dan puisi serta lomba cerita pendek dan nyanyian rakyat untuk tingkat SMP. Lomba ini dilaksanakan selama tiga hari,” ujarnya.
Dijelaskannya, kriteria penilaian berbeda-beda dari masing-masing lomba. Misalnya, puisi dinilai dari intonasi atau tinggi rendahnya nada dan artikulasi. Sedangkan cerpen dinilai dari penghayatan yang disampaikan serta nyanyian rakyat dinilai dari kesungguhan menghayati lagu yang disampaikan.
“Semua disampaikan dalam bahasa Tobati. Jurinya dari Uncen Jayapura, praktisi dan pegiat bahasa daerah dari kampung Tobati, serta dari Balai Bahasa Papua,” ujarnya.
Maturbongs berharap melalui lomba tersebut akan tumbuh generasi muda di Port Numbay (Kota Jayapura) agar mempertahankan bahasa daerah khususnya bahasa Tobati yang terancam punah.
Maturbongs yang juga staf dari Balai Bahasa Papua, menambahkan selain di Kota Jayapura, Festival Tunas Bahasa Ibu juga dilaksanakan di enam kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Biak, Kabupaten Merauke, Kabupaten Sarmi, dan Kabupaten Mimika.
Salah satu peserta lomba, Alicia Laly, siswa kelas 8F dari SMP Negeri 5 Jayapura, mengaku mengikuti lomba agar mengerti bahasa ibu (bahasa Tobati) sekaligus melestarikannya.
“Saya sudah latihan selama satu minggu, termasuk dengan persiapan properti. Bahasa Tobati mudah dipelajari dan dimengerti. Saya berharap anak-anak muda khususnya yang asli Port Numbay untuk melestarikan bahasa Tobati dengan cara menjadikannya sebagai bahasa sehari-hari,” ujar Alicia yang juga warga asli di Kampung Tobati. (*)