Jayapura, Jubi – Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma, mengatakan di era pemerintahan Jokowi, 2014 hingga saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibawah kepemimpinan Siti Nurbaya telah melepaskan lebih dari 296.378 hektare hutan alam Papua untuk berbagai kepentingan perizinan termasuk dialokasikan untuk Proyek Strategis Nasional Food Estate maupun proyek infrastruktur jalan dan jembatan Trans Papua sepanjang lebih dari 4.600 Km dari Sorong sampai Merauke.
Sementara itu, dalam dua dekade terakhir Greenpeace Indonesia mencatat lebih dari 641.400 hektare hutan alam di Tanah Papua hilang dengan fokus utama di Merauke, Boven Digoel, Nabire, Mimika, Mappi, Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong, Manokwari, dan Kaimana.
“Jika mengacu pada kebijakan dan pendekatan pembangunan pemerintah pusat dan daerah yang masih tetap ekstraktif dengan fokus pada eksploitasi hutan dan SDA baik di darat maupun di laut atau perairan dalam 20 tahun terakhir maka tingkat kerusakan lingkungan di Tanah Papua itu dipastikan mengalami tren yang terus meningkat,” ujar Nicodemus Wamafma saat ditemui Jubi di Jayapura, Sabtu (20/1/2024).
Lebih lanjut Wamafma mengatakan pihaknya bersama koalisi telah melakukan pendampingan hukum terhadap kasus gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim oleh marga Woro, Suku Awyu terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua kepada PT. IAL atas izin lokasi seluas 39.190 hektare di Boven Digoel pada 2023 lalu.
Selain itu, pihaknya juga telah mengorganisir dan mendampingi masyarakat adat Namblong di Lembah Grime bersama DAS Namblong dan ORPA (Organisasi Perempuan Adat) Namblong untuk mengajukan keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura atas izin lokasi perkebunan sawit PT. Permata Nusa Mandiri seluas 30.920 hektare yang dikeluarkan oleh Bupati Jayapura pada tahun 2011.
“Prosesnya hukumnya belum menjawab permohonan dan rasa keadilan masyarakat adat dan lingkungan hidup Suku Awyu dan Suku Namblong di Tanah Papua setidaknya menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan ekstraktif dan eksploitatif di Tanah Papua akan terus merusak tutupan hutan alam dan daya dukung lingkungan hidup di Tanah Papua serta mengabaikan atau melanggar hak-hak masyarakat adat Papua,” ujarnya.
Selain itu, masih terdapat berbagai kasus lingkungan akibat operasi pertambangan, baik di Mimika, Raja Ampat, Tambrauw, Manokwari, Pegunungan Arfak, Teluk BIntuni, Nabire, Keerom, Yahukimo, dan Asmat termasuk illegal logging yang hingga kini belum nyata tindakan konkrit pemerintah dan aparat penegak hukum.
Wamafma mengatakan deforestasi dan kerusakan lingkungan di Tanah Papua dilakukan secara terencana atau disengaja oleh pemerintah dan korporasi yang rakus, sehingga pemerintah dan korporasi menjadi aktor utama yang mendorong terjadinya pengrusakkan lingkungan dan deforestasi hutan alam di Tanah Papua.
Menurutnya, deforestasi dan kerusakan lingkungan di Tanah Papua diakibatkan oleh kebijakan pembangunan dan perizinan berbasis lahan berupa izin lokasi, IUP, dan HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah yang menjadi dasar bagi korporasi atau perusahaan untuk membuka atau membersihkan hutan alam.
“Termasuk pembukaan hutan alam untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan Trans Papua, kawasan ekonomi khusus, maupun penyediaan lahan untuk pembanguanan infrastruktur pemerintahan di provinsi dan kabupaten baru,” ujarnya. (*)
Discussion about this post