Jayapura, Jubi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Papua sangat mengecam pembabatan hutan bakau dan penimbunan secara masif yang dilakukan di Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam-TWA Teluk Youtefa – Entrop, tepatnya di belakang Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua.
Kawasan hutan bakau yang seharusnya dilindungi oleh negara berdasarkan undang-undang kini terancam berkurang.
Papan larangan yang terpasang di sana bertuliskan “Kawasan konservasi Teluk Youtefa, dilarang mengubah tentang alam di kawasan ini” tercantum lengkap dengan undang-undang dan pasal yang mengaturnya.
“UU No.5 tahun 1999, pasal 33 ayat 3 dan sanksinya di Pasal 40 ayat 2 seolah hanya simbol saja, tanpa ada kekuatan hukum yang memaksa. Sebab kenyataannya, hutan bakau di kawasan tersebut tetap dibabat dan ditimbun juga tanpa menghiraukan adanya larangan yang berlogo kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, logo pemerintah dan logo Polri tersebut,” kata Direktur Walhi Papua, Maike Primus Peuki lewat siaran pers yang diterima Jubi, Kamis (13/7/2023).
Indonesia memiliki 556 kawasan konservasi dan 214 di antaranya masuk dalam kategori Taman Wisata Alam (TWA). Di Provinsi Papua (sebelum pemekaran provinsi), hanya tiga kabupaten yang memiliki kawasan konservasi dengan status Taman Wisata Alam, yakni TWA Nabire, TWA Pulau Supiori dan TWA Teluk Youtefa Kota Jayapura.
Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 372/Kpts/Um/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas areal 1.650 ha.
Delapan belas tahun berlalu, luas Teluk Youtefa bertambah seluas 25 hektare, sehingga pada 1996 Teluk Youtefa kemudian ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996 dengan luas areal 1.675 ha.
Luasan mangrove di TWA Teluk Youtefa pada tahun 2017 seluas 233,12 hektare. Teluk Youtefa juga menjadi rumah bagi tiga ekosistem pesisir di antaranya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Potensi sumber daya alam lainnya adalah sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan, bilvalvia serta crustacea.
Ekosistem mangrove merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat pesisir di sekitar Teluk Youtefa.
“Ekosistem mangrove memiliki banyak potensi, berperan penting, dan memiliki keanekaragaman hayati baik dari segi ekologi maupun sosial. Pengelolaan ekosistem mangrove menjadi sangat penting karena merupakan inti dari siklus biologis yang berlangsung di wilayah pesisir, di mana baik manusia maupun kehidupan akuatik bergantung pada ekosistem ini,” katanya.
Menurutnya, dalam rentang waktu 23 tahun, TWA Teluk Youtefa telah kehilangan sebesar 159,34 hektare ekosistem mangrove.
“Pemerintah dan warga Kota Jayapura harusnya berbangga, memiliki 1 dari 3 TWA di Provinsi Papua. Karena itu sangat disayangkan jika keberadaan TWA ini tidak diseriusi, dijaga dan diselamatkan dari oknum yang mencari keuntungan ekonomi, membabat dan menimbun karang, mengalih fungsikan kawasan ini,” ujarnya.
Setiap hari, hutan Papua berkurang dampak dari penggundulan gunung dan kawasan hutan, area penyangga air semakin terancam, karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
“Kami berharap KLHK dalam hal ini Gakum LHK dapat menindak tegas aktivitas yang di duka ilegal ini. Dikhawatirkan jika tidak dikendalikan, maka 10 tahun atau 20 tahun ke depan, ekosistem mangrove tersisa akan lenyap dan kita tidak akan melihat sehelai daun mangrove lagi di TWA Teluk Youtefa,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!