Tak banyak anak muda yang rela mengorbankan masa mudanya demi kegiatan kemanusiaan. Amanda Hanaria, perempuan berusia 29 tahun, satu dari sedikit anak muda yang nekat meninggalkan profesinya sebagai seorang jurnalis. Hijrah dari kota megapolitan Jakarta untuk mengabdi di Papua.
Amanda, akrab ia dipanggil, bersama sang adik, Yosua Murid Yesus saban harinya menghabiskan waktu untuk mengasuh dan merawat anak-anak asli Papua dari beberapa wilayah pedalaman Papua di sebuah Yayasan Panti Asuhan Shalom, Arso VIII, Kabupaten Keerom.
Panti Asuhan Shalom digagas oleh pamannya, Harison Manurung sejak tahun 1997. Ibu Amanda, Ruth Manurung kemudian ikut membantu pelayanan di sana sejak tahun 2000-an. Panti Asuhan Shalom bergerak untuk pelayanan sosial kepada masyarakat, yang kemudian menjadi Yayasan Panti Asuhan.
Panti Asuhan Shalom tidak hanya menampung anak yatim piatu, tapi juga untuk mendidik dan merawat serta memberikan pelayanan kesehatan bagi anak-anak di bawah usia 7 tahun, remaja, hingga masyarakat yang membutuhkan.
Hati Amanda tergerak untuk melanjutkan kegiatan sosial kemanusiaan yang dirintis orang tuanya, karena sejak kecil ia sudah dididik untuk mengedepankan kasih kepada sesama.
Apa yang ia lakukan di Keerom didengar oleh salah satu rekannya sesama jurnalis di Jakarta, lalu mendaftarkan namanya ke dalam kandidat penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award; sebuah penghargaan yang disponsori oleh PT Astra Internasional Tbk bekerjasama dengan Tempo Media Group kepada para pemuda yang dinilai telah memberikan kontribusi positif, bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Nama Amanda kemudian masuk dalam daftar penerima apresiasi SATU Indonesia Award tahun 2018 tingkat Provinsi.
“Waktu itu saya mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Award generasi pertama, berawal dari teman saya yang kerja di media di Jakarta. Saya tidak terlalu berekspektasi waktu itu, Puji Tuhan diberikan apresiasi itu untuk tingkat Provinsi,” kata Amanda kepada Jubi, Senin (23/10/2023).
Ia tak pernah berharap lebih dari apa yang dilakukannya saat ini. Semua ia lakukan dengan niat yang tulus, tanpa pamrih demi kemanusiaan.
“Saya memang bukan siapa-siapa, tapi punya hati untuk anak-anak Papua, jadi saya tidak mau muluk-muluk. Apa yang saya bisa lakukan untuk anak-anak Papua itu yang menjadi harapan saya untuk jangka panjang. Walaupun sedikit tapi berdampak dan berguna untuk orang lain,” katanya.
Presiden Direktur Astra, Djony Bunarto Tjondro mengatakan apresiasi SATU Indonesia Award diberikan kepada para pemuda yang senantiasa berkontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat melalui lima bidang, yaitu kesehatan, pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan teknologi.
“Begitu banyaknya anak muda Indonesia yang tersebar dari ujung barat Sumatera hingga ujung timur Papua dengan segala keterbatasannya, memiliki semangat dan inovasi yang luar biasa untuk membuat perubahan positif bagi masyarakat sekitarnya,” kata Djony Bunarto Tjondro dikutip dari siaran pers di laman resmi Astra.
“Inovasi dan semangat mereka mengabdi untuk masyarakat adalah sebuah ketulusan untuk bangsa ini dan inspirasi yang patut dicontoh dan diapresiasi oleh kita semua.”
Tinggalkan Zona Nyaman
Usia Amanda masih cukup muda, 24 tahun sewaktu memutuskan berhenti jadi jurnalis di Tabloid Nova, anak perusahaan Kompas Group. Padahal, menjadi seorang jurnalis sudah menjadi cita-citanya sejak kuliah. Ia menamatkan perguruan tinggi dari jurusan jurnalistik.
Hanya setahun mengenyam profesi jurnalis, ia memutuskan resign dan hijrah dari Jakarta ke Papua untuk melanjutkan kegiatan kemanusiaan yang dirintis orang tuanya di Kabupaten Keerom.
“Sebelumnya saya juga berprofesi sebagai jurnalis di Tabloid Nova. Saya jadi wartawan tahun 2017 dan tahun 2018 saya memutuskan resign lalu ke Papua karena orang tua saya sudah lebih dulu mengabdi dan melayani masyarakat pedalaman di Papua,” kata Amanda.
Ia hijrah ke Papua pada 2018 untuk membantu orang tuanya mensupport pelayanan di Panti Asuhan Shalom.
“Sekarang saya berusia 29 tahun. Di usia 24 tahun saya memutuskan mundur dari pekerjaan. Pada 018 saya memutuskan tinggal di Keerom untuk membantu mensupport pelayanan atau kegiatan sosial di Panti Asuhan Shalom. Itu awalnya kenapa saya bisa ada di Keerom, dan sampai sekarang saya masih aktif mengasuh di sini,” ujarnya.
Keputusannya itu bukan karena paksaan. Saat beranjak dewasa, ia belajar memahami tentang hakikat kehidupan; arti hidup sesungguhnya sebagai seorang manusia. Ia berpikir, menjadi seorang manusia harus lah berguna bagi sesama.
“Sudah panggilan hati. Karena kalau saya melihat ke belakang saya sudah mendapatkan pengenalan tentang Papua dari orang tua saya. Mereka duluan yang merintis kegiatan itu. Cuma merasa terpanggil secara sukarela itu butuh proses, pada tahun 2018 itu lah saya berada di titik saya mencoba memahami bahwa tujuan hidup kita itu untuk apa,” katanya.
Kepedulian akan sesama membuatnya nekat meninggalkan zona nyaman; kehidupan megapolitan di Jakarta yang bagi kebanyakan anak muda lainnya berat untuk ditinggalkan. Apalagi, ia sudah mencapai impiannya berkarier sebagai seorang jurnalis di media ternama.
“Waktu itu saya sudah mendapatkan pencapaian saya di usia yang masih muda, punya pekerjaan yang baik dan di perusahaan yang bagus. Meninggalkan kehidupan metropolitan itu susah apalagi bagi saya yang hidup di Jakarta,” ucapnya.
“Tapi karena saya berpikir bahwa hidup itu bukan untuk mementingkan diri sendiri. Itu membuat hati saya terpanggil ke Papua untuk membantu merawat anak-anak Papua. Pikiran saya hanya ke situ.”
Panti Asuhan Shalom sering dikunjungi oleh sejumlah public figure. Termasuk klub sepak bola ternama Papua, Persipura Jayapura yang pernah datang ke sana dan menyerahkan bantuan.
Salah seorang pengurus Persipura, Ridwan mengapresiasi pelayanan sosial yang dilakukan oleh Panti Asuhan Shalom. Menurutnya, tak banyak anak muda yang tulus mengabdikan hidupnya untuk kegiatan sosial seperti yang dilakukan oleh Amanda dan Yosua.
“Kita salut dan respek dengan segala bentuk kegiatan sosial untuk kemanusiaan. Apa yang sudah dilakukan oleh Panti Asuhan Shalom di Keerom dan relawan-relawan muda untuk mengasuh dan merawat anak-anak Papua itu suatu hal yang luar biasa,” katanya.
Ingin Menghabiskan Hidup di Papua
Tekad Amanda mengabdi untuk kemanusiaan di Papua sudah setebal baja. Ia bahkan tak berniat mencari pekerjaan reguler karena ingin memfokuskan waktunya untuk mengurus dan mengasuh anak-anak di Panti Asuhan Shalom bersama sang adik, Yosua Murid Yesus.
Amanda menyatakan belum ada niatan untuk kembali ke Jakarta. Dia mengaku betah menjalankan aktivitas sosial, melayani masyarakat dan anak-anak di pedalaman Papua.
“Setibanya saya di sini pun saya tidak mengambil pekerjaan reguler lagi. Jadi memang titik fokus saya adalah untuk mengasuh di Panti Asuhan. Sampai saat ini saya malah berpikir tidak mau kembali lagi ke Jakarta. Saya mau menghabiskan hidup saya di Papua dan melakukan yang berguna untuk orang lain,” katanya.
Di Panti Asuhan Shalom, Amanda mengajarkan anak-anak di bawah usia 7 tahun seputar Calistung (baca, tulis dan berhitung) sambil menerapkan metode belajar dan bermain. Selain itu, asupan gizi anak juga menjadi perhatian utama mereka.
Aktivitas itu dilakukan Amanda bersama Yosua. Mereka juga dibantu oleh beberapa anak muda yang turut mengasuh anak-anak di Panti Asuhan Shalom secara sukarela.
“Dari segi pendidikan, proses pembelajaran berbasis PAUD karena yang kami rawat mayoritas anak-anak di bawah usia 7 tahun. Jadi pengenalan akan abjad untuk calistung itu coba kita perkenalkan. Di luar itu kami menerapkan belajar sambil bermain, selain itu fokus untuk perbaikan gizi. Karena kan banyak gizi mereka yang kurang begitu tercukupi dengan baik,” ujarnya.
Saat ini, total ada 41 anak yang dididik dan di asuh di Panti Asuhan Shalom, yang semuanya anak asli Papua. Ada yang berasal dari daerah yang jauh hingga anak pedalaman suku Korowai.
“Kami memang sementara hanya fokus untuk anak-anak asli Papua dan juga di kampung pedalaman itu sendiri. Yang kami jangkau memang kebanyakan kampung-kampung wilayah perbatasan Keerom dan Pegunungan Bintang. Di sepanjang sungai itu kan banyak kampung-kampung, nah itulah jangkauan kami,” katanya.
“Di luar itu kami juga menjangkau suku Korowai yang masih hidup di rumah pohon. Orang tua saya yang merintis masuk ke wilayah itu. Sampai sekarang ada anak Korowai yang kami asuh, ada tiga anak.”
Kebanyakan, anak-anak yang diasuh di Panti Asuhan Shalom masih punya orang tua. Namun karena keadaan ekonomi yang sulit membuat para orang tua menitipkan anak-anak mereka.
Di Panti Asuhan Shalom, anak-anak tersebut mendapatkan kehidupan layak. Mulai dari makan, asupan gizi, sampai sekolah semua ditanggung pihak Panti.
“Mungkin dari faktor ekonomi, pendidikan dan kemampuan itulah yang membuat anak-anak ini belum mampu dirawat secara baik oleh orang tuanya, jadi dititipkan lah ke Panti Asuhan ini. Sebenarnya lebih cocok dibilang rumah singgah. Karena anak-anak di tempat kami akan silih berganti, misalnya hari ini jumlahnya ada 41 anak mungkin minggu depan bisa bertambah atau berkurang,” tuturnya.
Amanda melakukan semua pelayanannya untuk anak-anak di Panti Asuhan Shalom dengan tulus. Ia tak pernah memandang apa yang akan ia dapat dari pelayanannya itu, meski kadang masih menemui banyak tantangan.
“Semua karena kasih dan memandang mereka juga sama. Kita saudara jadi itu semua bisa dijalani sampai saat ini. Bukan berarti siapa pun anak-anak yang kita asuh 100 persen otomatis berhasil jadi seseorang, pasti ada tantangan dan proses. Kita pakai konsep mengasihi, ibarat kita bertanam kita tabur sebanyak mungkin,” katanya.
Aktivitas sosial sudah mendarah daging dalam jiwa Amanda. Selain mengasuh di Panti Asuhan Shalom, ia juga aktif dalam kegiatan sosial bersama kelompok anak muda di Kota Jayapura lewat media kreatif yang ia rintis bernama EASTVES (East Indonesian Creative Space & Networking).
Berbekal pengetahuan yang ia dapat sewaktu menjadi jurnalis, Amanda membentuk EASTVES sebagai wadah bagi anak muda Kota Jayapura untuk belajar tentang industri kreatif, membuat konsep iven, dan berbagai hal positif lainnya.
“Belakangan ini saya juga aktif mensupport anak-anak muda Papua lewat komunitas. Tujuannya kembali lagi ke social activity, saya membuat satu platform bernama Eastves, nah itu semacam media kreatif juga berawal dari situ saya mencoba menjangkau anak-anak muda untuk belajar seputar industri kreatif, tapi melalui media kreatif, dari situ lah saya coba membantu membuat iven, konsep dan segala macam,” ujarnya. (*)