Jayapura, Jubi – Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua Selatan atau AMPERA PS Kabupaten Merauke, turut merayakan hari masyarakat adat internasional pada 9 Agustus 2023.
Momentum ini sekaligus jadi refleksi penting bagi posisi dan nasib masyarakat adat di tanah Papua, khususnya di wilayah adat Anim-Ha yang hingga kini menjadi menyumbang angka deforestasi atau penggundulan hutan, penebangan hutan terbesar di Indonesia.
Koordinator AMPERA PS, Norbertus Abagaimu dalam siaran persnya yang diterima Jubi, Kamis malam (10/8/2023),mengatakan keterputusan hutan dengan orang Papua artinya ancaman serius bagi generasi Papua selanjutnya.
“Hari ini, kita menyaksikan kebijakan tata kelola hutan dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan, telah banyak merugikan komunitas marjinal seperti komunitas adat, perempuan dan anak-anak asli Papua tak berdosa di Selatan Papua,” kata Abagaimu.
Menurutnya kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan yang tumpang-tindih di Selatan Papua yang tidak berpihak terhadap masyarakat adat, kerap kali juga ikut memicu kisruh antar komunitas adat [marga], sementara proses akuisisi lahan dan pengabaian terhadap hak-hak dan akses masyarakat adat terhadap ruang hidupnya terus terjadi dimana-mana.
“Apa yang hari ini dialami masyarakat pribumi di wilayah lain, sesungguhnya tak berbeda dengan hari ini suku-suku asli yang mendiami tanah Papua,” katanya.
Seperti apa yang dialami suku Awyu yang terbentang dari sungai Mappi hingga Digoel diwakili Frangky Woro, salah satu perwakilan masyarakat adat dari wilayah adat Anim-Ha tengah berjuang melawan korporasi yang mendapat izin konsesi di wilayah adat mereka di Kampung Anggai, Kabupaten Boven Digoel.
Karena itu Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua Selatan, mendesak agar perusahaan bersangkutan yang kini beroperasi di wilayah adat suku Awyu dan pemerintah daerah untuk memberikan kejelasan status hukum masyarakat adat serta transparansi kebijakan tata kelola hutan di wilayah adat Anim-Ha yang berpihak.
“Kami menyadari rusaknya ekologi hutan di selatan Papua sesungguhnya disebabkan oleh pembukaan dan izin-izin konsesi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri lainnya,” katanya.
Dampaknya, terjadi penghilangan hak-hak masyarakat adat, pelanggaran HAM, beban ganda terhadap buruh perempuan, dan anak-anak balita yang sakit karena tercemar limbah perusahaan yang beroperasi di wilayah selatan Papua sejak 1990-an.
Sementara kebijakan pemerintah dinilai belum maksimal untuk mengatasi permasalahan tersebut. Undang-Undang otonomi khusus Papua misalnya, hingga kini belum dirasakan manfaatnya dan secara khusus belum menjamin hak-hak masyarakat adat.
“Undang-undang Otsus seolah kehilangan kekuatan hukumnya ketika berhadapan dengan korporasi di Selatan Papua. Fakta yang terjadi hari ini adalah pemerintah secara sepihak mengeluarkan izin-izin sepihak tanpa melibatkan masyarakat adat di wilayah adat Anim-Ha,” ujarnya.
Untuk itu Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua Selatan menyatakan dukungannya kepada masyarakat Adat Awyu dan mendesak PTUN Jayapura untuk segera cabut izin usaha PT. Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel.
Selain itu mendesak pemerintah Provinsi Papua dalam hal ini dinas DPMPTSP dilarang menutup semua informasi tentang ijin yang telah dikeluarkan, karena dokumen tersebut merupakan dokumen yang bukan dikecualikan sesuai dengan undang-undang 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
“Pemerintah provinsi Papua dan Papua Selatan dilarang keras mengeluarkan izin-izin secara sepihak di atas seluruh tanah adat Papua dan khususnya wilayah adat Anim-HA,” ujarnya.
Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua Selatan juga menyerukan untuk menghrntikan kriminalisasi aktivis masyarakat adat, mengecam setiap intimidasi dan tindakan kekerasan fisik oleh aparat keamanan terhadap masyarakat di wilayah adat mereka, termasuk masyarakat Adat Awyu yang sedang berjuang mendukung proses persidangan gugatan.
“Mendesak oknum-oknum yang berusaha mengekang masyarakat adat Awyu untuk membatalkan proses persidangan gugatan dan pemerintah segera sahkan RUU masyarakat adat,” kata Norbertus Abagaimu. (*)