Oleh: Budi Hernawan PhD*
Pada 19 Januari 2024 lalu, secara daring, ALDP (Aliansi Demokrasi untuk Papua) meluncurkan laporan terbarunya “Laporan Situasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 2023 Di Papua”. Laporan tersebut mengulas permasalahan utama yang mewarnai peta hak asasi manusia di Tanah Papua dalam dua dimensi: Hak-hak Sipil-Politik dan Hak-hak Ekosob serta Layanan Publik yang kemudian ditutup dengan catatan tentang Tantangan dan Rekomendasi untuk 2024.
Di bagian Hak-hak Sipol, laporan ALDP mengurai isu-isu yang dalam kacamata ALDP merupakan permasalahan yang paling menonjol. Isu-isu yang digali pun sangat luas, mulai persidangan kasus Paniai di Makassar, Pemilu, pemekaran DOB (daerah otonomi baru), korupsi, hingga konflik bersenjata dan kebijakan keamanan di Papua.
Setidaknya ada 21 peristiwa penyerangan yang dilakukan TPNPB terhadap TNI/POLRI dan 17 serangan dilakukan kepada masyarakat sipil dan fasilitas publik.
Pada konflik bersenjata ada 8 peristiwa pembakaran terhadap fasilitas publik (2 sekolah, 1 kantor distrik, 1 pesawat, 1 tower komunikasi, 1 perpustakaan, dan 1 gudang beras, 1 masjid) dan 6 pembakaran lainnya (14 rumah, 4 kios, dan 25 ruko) sehingga total aksi pembakaran ada 14 peristiwa (ALDP 2024: 9-10).
Jika data ini kita sandingkan dengan Laporan dari Human Rights Monitor (HRM) yang bertajuk “Destroy them first…discuss human rights later” (Hancurkan mereka dulu, baru nanti bicara HAM) tertanggal 17 Agustus 2023, maka akan terlihat unsur kesamaan dalam segi konflik bersenjata ini. HRM mencatat statistik insiden bentrokan antara TPNPB dan TNI/Polri antara tahun 2017-2022 sebagai berikut: th. 2017 – 24 insiden, th. 2018 – 44 insiden, th. 2019. 33 insiden, thn. 2020 64 insiden, th. 2021 – 85 insiden, dan th. 2022 – 72 insiden. Dengan demikian catatan ALDP justru menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kedua laporan juga menegaskan lagi korban jiwa di kedua belah pihak yang terlibat dalam tindak permusuhan, warga sipil, fasilitas sipil dan layanan umum di titik-titik konflik, khususnya Maybrat, Intan Jaya, Nduga, dan Pegunungan Bintang. Secara lebih terperinci HRM menyoroti 76,228 jiwa pengungsi internal yang hingga kini nasibnya makin terkatung-katung.
Apa arti angka ini? Bagi banyak orang jumlah sedemikian agak sulit dibayangkan. Tetapi jika kita membandingkan dengan data kependudukan BPS Papua misalnya, maknanya akan sangat berbeda. Jumlah sedemikian ternyata hampir sama dengan total jumlah penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang pada 2022 sebanyak 78.466 jiwa.
Artinya jumlah pengungsi internal di seluruh Tanah Papua perlu dilihat dalam besaran kabupaten dan pengelolaan tingkat kabupaten. Tidak cukup diserahkan kepada kalangan relawan, warga masyarakat, gereja-gereja, atau kelompok lainnya. Dengan kata lain, angka tersebut menjadi penanda serius tingkat konflik bersenjata yang sedang terjadi di tanah kita ini.
Dua laporan inilah yang menjadi dasar pertanyaan dalam judul tulisan ini di atas. Judul itu bukanlah permainan kata, melainkan berasal dari sudut pandang Hukum Humaniter Internasional (HHI) untuk menguji apakah konflik di sejumlah hotspot di Papua sudah memenuhi ambang batas konflik bersenjata ala HHI.
Per definisi, HHI adalah seperangkat aturan yang, atas dasar kemanusiaan, membatasi dampak dari konflik bersenjata; melindungi mereka yang tidak, dan tidak lagi, terlibat dalam pertempuran dan membatasi tata cara berperang. HHI menyeimbangkan pertimbangkan kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan (ICRC Indonesia 2021:16).
Dengan kata lain, HHI tidak melarang para pihak untuk melakukan tindak permusuhan, tetapi membatasi sasaran, cara, dan metodenya, sehingga tindak permusuhan tidak dilakukan secara membabi buta dan menyasar warga sipil, objek sipil atau mereka yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran. HHI juga tidak mempertanyakan alasan para pihak melakukan tindak permusuhan atau konflik bersenjata.
Siapa yang dimaksudkan para pihak dalam HHI? Dalam kacamata HHI, hanya para pihak inilah yang dapat menjadi sasaran serangan lawan secara sah. Para pihak hanya terdiri dari tiga jenis saja: kombatan yakni anggota angkatan bersenjata suatu negara, kelompok bersenjata non-negara, dan warga sipil yang terlibat langsung dalam pertempuran.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa istilah ‘kombatan’ dalam HHI hanya diberikan kepada angkatan bersenjata suatu negara dan bukan kepada pihak lain, seperti polisi, milisi, atau kelompok bersenjata non-negara. Salah kaprah seringkali terjadi dengan penggunaan istilah kombatan untuk siapa saja yang terlibat dalam tindak permusuhan, sehingga hal ini perlu dijernihkan dulu di sini.
Dalam kacamata HHI, hanya ada tiga jenis konflik: konflik bersenjata internasional (KBI), konflik bersenjata non-internasional (KBNI), dan gangguan keamanan. KBI terjadi jika ada dua negara atau lebih terlibat dalam tindak permusuhan. Misalnya sekarang Rusia dan Ukraina. Tetapi status KBI juga berlaku untuk Korea Utara dan Korea Selatan, karena kedua negara tidak pernah menyepakati perjanjian damai dan mengakhiri perang, sehingga meski tidak ada serangan dari kedua belah pihak status mereka KBI. Dalam hal KBI, berlaku Konvensi Jenewa I-IV, HHI Kebiasaan untuk KBI dan Protokol Tambahan 1.
Golongan kedua, KBNI, terjadi jika terdapat konflik antara pihak negara dengan satu atau lebih pihak kelompok bersenjata non-negara di dalam satu wilayah negara tersebut. Misalnya saja, dalam konflik Myanmar, terdapat sekurang-kurangnya 14 kelompok bersenjata non-negara yang masing-masing otonom yang melawan tentara pemerintah Myanmar.
Contoh ini menunjukkan bahwa kelompok bertikai tidak harus satu lawan satu. Dalam hal KBNI, perangkat HHI lebih terbatas. Hanya pasal 3 kembar Konvensi Jenewa, HHI Kebiasaan untuk KBNI dan Protokol Tambahan 2 sajalah yang mengaturnya (ICRC Indonesia: 23).
Golongan terakhir adalah gangguan keamanan. Hal ini terjadi jika ada kelompok orang yang melakukan serangan spontan kepada kelompok lain atau pihak negara tanpa adanya pengorganisasian dan berlangsung dalam kurun waktu singkat.
Misalnya, tawuran antarkampung, bentrokan massa pendemo dengan polisi, bentrokan antargeng pengedar narkoba, termasuk juga apa yang sering kita dengar dengan istilah ‘perang suku’.
Dalam kacamata HHI, gangguan keamanan tidak termasuk jenis konflik bersenjata, sehingga tidak diatur oleh HHI, melainkan oleh perangkat hukum HAM (*)
*Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Direktur SKP Keuskupan Jayapura periode 2004-2009.
Discussion about this post