Oleh: Siorus Degei*
Sejatinya aksi atau demo tolak pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB), Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II, perusahan tambang ilegal, pembangunan pangkalan militer, perusahaan ilegal, smelter dan pelbagai agenda Jakarta lainnya, bukan sebuah tradisi baru dalam kehidupan masyarakat Papua. Hampir pasti setiap saat mahasiswa dan rakyat Papua turun lapangan untuk beraksi menolak semua agenda pemerintah pusat yang bertendensi mengancam eksistensi manusia dan alam Papua.
Belakangan ini, spesifiknya ketika wacana Papua bakal dimekarkan menjadi enam provinsi baru dikeluarkan oleh Jakarta, tidak sedikit bias pro-kontra yang menghiasi beranda-beranda media sosial kita, terjadi tarik-menarik dan perang urat saraf antarkubu, baik kubu pro pemekaran atau DOB, maupun kubu kontra DOB Papua ( yang pro DOB Papua dan kubuh yang kontra DOB Papua (CNNIndonesia.com, 8/4/2021).
Diskursus seputar tolak dan terima DOB itu mencapai titik klimaksnya pada ragam aksi tolak yang dilakukan oleh bangsa Papua, hampir di seluruh antero Nusantara –dari Sabang sampai Merauke, terlihat massa aksi tolak DOB oleh solidaritas rakyat Papua, mahasiswa dan simpatisan.
Mereka turun jalan demi menyampaikan hak demokratisnya untuk berpendapat di ruang publik. Walaupun diadang aparat keamanan (TNI/Polri), itu tak menyulutkan semangat mereka untuk beraksi menolak DOB.
Fenomena penolakan DOB di Papua
Kita sebut saja beberapa fenomena aksi damai tolak DOB Papua. Pertama, aksi tolak DOB di Kota Jayapura, tepatnya di kampus Uncen Perumnas III Waena, di depan Perumnas II Waena, Jalan Raya SPG Taruna Bakti, Lampu Merah Waena, Kampus Uncen Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Selasa, 8 Maret 2022 (Suarapapua.com, 8/2/2022).
Di setiap titik aksi telah dijaga ketat oleh TNI-Polri. Bahkan sebelum massa aksi tiba di lokasi, rupanya aparat keamanan sudah terlebih dahulu apel pagi di sana. Mahasiswa “berkuliah” di jalan, sedangkan TNI/Polri juga bertugas di jalan.
Massa aksi tolak DOB Papua yang berdemonstrasi secara damai itu diadang secara anarkistis oleh aparat setelah melalui perang mulut yang panjang. Aksi massa tolak DOP Papua di Jayapura, di hampir semua titik diadang dan dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan.
Beruntung aspirasi rakyat dan mahasiswa Papua itu diterima oleh perwakilan DPRP dan MRP. Sebenarnya massa aksi berencana menuju gedung DPRP dan MRP, untuk menyampaikan aspirasi penolakan DOB. Namun beberapa anggota DPRP dan MRP menjemput aspirasi mereka di jalan, karena massa diadang aparat keamanan.
Dalam aksi itu pasalnya delapan mahasiswa menjadi korban tindakan anarkistis dari aparat keamanan. Akibatnya satu mobil polisi dihancurkan oleh massa;
Kedua, pada Kamis (11/3/2022) terjadi aksi mahasiswa se-Jabodetabek menolak DOB Papua di depan kantor Kemendagri, Jakarta. Lagi-lagi TNI/Polri mengeluarkan jurus represif-anarkistisnya. Seakan-akan aparat kita ini “mengabaikan etika demokrasi”. Mereka mengadang massa secara membabi buta. Dikabarkan sekitar 105 mahasiswa ditahan dan enam lainnya mengalami siksaan fisik dan seksual (Suarapapua.com, 14/3/2022);
Ketiga, pada 12 Maret 2022 massa menolak pemekaran Papua Pegunungan Tengah dengan melakukan aksi di depan kantor DPRD Jayawijaya. Mereka dengan tegas menolak pemberlakuan Otsus Papua Jilid II dan DOB, karena dianggap bukan keinginan rakyat Papua. Mereka hanya menuntut dibukanya akses bagi Komisioner Dewan Tinggi HAM PBB untuk segera berkunjung Papua dan menyudahi semua kasus pelanggaran HAM di Papua (Jubi.co.id, 22/3/2022).
Aksi di Jayawijaya ini tampaknya TNI/Polri tampil dewasa dan demokratis. Tidak seperti aparat keamanan di Jayapura dan Jakarta yang bertindak represif-anarkistis. Aspirasi rakyat Papua tolak DOB di Lapago itu diterima secara hormat oleh anggota DPR setempat;
Keempat, pada Selasa, 15 Maret 2022 terjadi satu aksi tolak DOB di Yahukimo. Massa yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat dan Mahasiswa Yahukimo melakukan aksi menolak DOB di tengah kota Yahukimo dan berakhir ricuh. Aparat mengklaim aksi itu dilakukan bersamaan dengan pengrusakan kios (ruko) di sekitaran jalan, sehingga aparat menarik pelatuk sebagai tembakan peringatan.
Sayangnya, tembakan itu menyasar massa sehingga melukai banyak warga sipil, dan dikabarkan dua warga sipil yang tertembak mati atas nama Yakob Meklok (30) dan Erson Weipsa (22). Jasad keduanya dimakamkan di pinggir jalan, tempat kejadian, sebagai monumen rakyat Papua konsisten tolak DOB, Otsus dan semua kebijakan Jakarta yang mengancam eksistensi manusia dan alam Papua (Kompas.com, 15/3/2022);
Kelima, pada Senin, 14 Maret 2022 ribuan warga Paniai turun ke jalan untuk menolak DOB di wilayah adat Meepago (Sindonews.com, 14/3/2022). Aksi ini berlangsung demokratis dan aspirasi rakyat pun dengan leluasa tersampaikan ke bupati dan DPR. Selanjutnya, aspirasi tersebut dikawal oleh DPR dan Fopera ke jenjang DPRP pada 22 Maret 2022 di Markas DPRP (dpr-papua.go.id, 23/3/2022).
Catatan kritis di balik fenomena penolakan DOB
Dari lima aksi penolakan DOB Papua di atas ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi bersama secara kritis, analitis, koheren dan objektif.
Pertama, Jakarta mesti sadar bahwa rakyat Papua konsisten menolak DOB, Otsus, dan pelbagai kebijakan lainnya yang mengancam eksistensi manusia dan alam Papua;
Kedua, aparat keamanan “lupa diri” atau semacam kehilangan “substansi hidup” dalam menengarai massa aksi tolak DOB di Papua dan luar Papua, khususnya di Yahukimo—yang menewaskan dua warga sipil.
Hal ini perlu diperhatikan secara bijak oleh petinggi militer bangsa ini, sebab secara tidak langsung praktik-praktik represif-anarkistis semacam ini amat mencoreng fitrah dan marwah TNI-Polri di mata dunia;
Ketiga, DPRD, DPRP, dan MRP sudah menerima aspirasi rakyat Papua yang dengan tegas menyatakan tolak DOB, Otsus, dan kebijakan Jakarta lainnya yang berbau depopulasi dan dekolonisasi menuju ambang genosida dan ekosida di Papua;
Keempat, rakyat akan tetap konsisten menolak pemekaran Papua. Hal ini terbukti dari pecahnya aksi tolak DOB oleh mahasiswa Papua di Manado, Senin (28/3/2022) di kantor gubernur Sulawesi Utara.
Juga rencana aksi demo damai tolak DOB dari solidaritas rakyat dan mahasiswa Papua di Nabire, Kamis (31/3/2022). Terakhir rencana aksi tolak DOB dari solidaritas rakyat, mahasiswa dan simpatisan di Jayapura, Jumat (1/4/ 2022). Sayangnya rencana aksi di Kota Jayapura ini mendapatkan larangan tegas dari Kombes Pol. Gustav R. Urbinas, Kapolresta Jayapura dengan tiga dalilnya; (1). Mengingat situasi pandemi Covid-19; (2) Menimbulkan kerugian (masyarakat lain terganggu, kemacetan, dan disusupi pihak lain dengan misi lain); dan (3) Jangan mau dimanfaatkan oleh segelintir orang demi kepentingannya (tribatanews.papua.polri.go.id, 29/3/2022).
Hemat penulis tiga dalil kapolresta ini menunjukkan “kegetirannya” akibat letupan gelombang massa aksi tolak DOB, yang semakin hari semakin mengurati eksistensinya di seantero Nusantara, khususnya Jayapura.
Jika kita perhatikan, bahwa terlihat ada gelombang spirit dan konsistensi bangsa Papua dalam menolak agenda depopulasi dan dan dekolonisasi “neokolonialis Jakarta”.
Bayangkan dalam bulan Maret saja terjadi aksi penolakan DOB Papua di mana-mana oleh orang Papua. Hal itu pada kadar esensial dan substansialnya mau menegaskan bahwa DOB, otsus, Blok Wabu, perusahaan minyak, perusahaan kayu, perkebunan sawit, karet dan coklat, smelter dan pelbagai kebijakan sejenisnya di Papua 100% ditolak mati-matian oleh manusia dan alam Papua, sebab, lagi-lagi misi itu hanyalah upaya depopulasi dan dekolonisasi Jakarta di Papua.
Stop pencitraan, segera eksekusi petisi rakyat Papua tolak DOB
Jika kita mau jujur, sebenarnya tradisi aksi demo tolak kebijakan bernadi pemekaran Papua, otsus, perusahan ilegal, tambang ilegal dan perkebunan ilegal bukan fenomena baru di Tanah Papua. Fenomena semacam ini selalu dan akan senantiasa kita jumpai di Papua.
Rakyat Papua mesti berguru pada pengalaman penolakan pemberlakuan Otsus Jilid I tahun 2000 dan pemekaran Provinsi Papua Barat. Bahwa 20 tahun yang lalu, apa yang terjadi saat ini, juga terjadi saat itu. Namun hasil akhirnya apa? Otsus Jilid I lolos hingga kini mau diperpanjang lagi.
Di samping itu pemekaran Papua Barat yang juga ditolak habis-habisan oleh orang-orang kritis di Papua lolos dengan mulus. Ada beberapa hal yang hemat penulis kurang optimal dikawal oleh orang Papua:
Pertama, aksi demo tolak Otsus Jilid II, DOB, dan kebijakan penuh “bobrok kolonial” lainnya jangan hanya mentok di tangan legislatif. Para aktor aksi bersama massa mesti mengawal aspirasinya itu agar tembus ke lembaga yudikatif.
Lembaga legislatif mesti didesak sedemikian rupa agar segera menyerahkan aspirasi itu ke pihak yudikatif. Pihak Yudikatif juga mesti didesak oleh semua massa aksi untuk segera mengeluarkan sebuah regulasi, yang menjawab semua aspirasi kunci. Dan, terakhir pihak eksekutif mesti dikawal dan didesak secara kritis-konstruktif untuk segera mengimplementasikan regulasi yang sudah dibuat, agar memang berdampak pada rakyat;
Kedua, para anggota DPRD, DPRP, DPR RI, DPD, dan MRP yang belakangan ini sudah menerima aspirasi rakyat perihal penolakan DOB dan otsus mesti bertanggung jawab penuh, untuk mengawal aspirasi rakyat itu ke jenjang yudikatif dan eksekutif.
Jika semuanya hanya mentok di gedung kerja legislatif, maka tidak salah jika massa kembali beraksi di gedung legislatif (MRP), yudikatif dan eksekutif untuk mempertanyakan sudah sejauh mana aspirasi rakyat itu terjawab;
Ketiga, jika lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif tidak menggubris dan mengimplementasikan aspirasi rakyat dalam petisi tolak DOB dan Otsus Jilid II, maka itu sama saja ketiga lembaga itu sudah patah arang dan tidak berfungsi dan tidak berarti apa-apa lagi di Papua. Sehingga rakyat Papua hanya perlu kembali ke komitmen dan konsistensi dasarnya, yakni mogok sipil nasional (MSN), aksi Doa-Puasa Serentak Sorong-Samarai (JDRP2), dialog internasional Papua-Jakarta (JDP) menuju muara Self Determination For West Papua. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Discussion about this post