Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar, mengatakan pihaknya mencatat telah terjadi 96 kasus kekerasan maupun konflik bersenjata di Tanah Papua pada periode Januari hingga Desember 2023.
Hal itu disampaikan Anum dalam peluncuran laporan tahunan situasi hak asasi manusia atau HAM di Tanah Papua tahun 2023 yang digelar secara daring pada Jumat (19/1/2024).
“Tahun ini [2023] ALDP mencatat ada 96 kasus kekerasan dan konflik bersenjata. Ini meningkat atau melonjak drastis dari tahun sebelumnya [2022] ada sekitar 53 kasus,” ujarnya.
Dia mengatakan data ALDP tersebut dihimpun dari berbagai sumber dan dari hasil monitoring dan advokasi bersama dengan non government organization (NGO) yang ada di Tanah Papua, nasional, maupun NGO internasional.
Anum juga mengatakan dalam laporan tersebut ALDP juga mencatatat data penempatan TNI dan Polri di Tanah Papua, yang menurutnya, juga meningkat drastis dibanding laporan tahun 2022. Sementara itu, dalam catatan ALDP, data terkait dengan penangkapan aktivis menurun.
“Kami juga punya data [yang tertuang dalam laporan] tentang perdagangan senjata api dan amunisi ilegal [di Tanah Papua],” ujarnya.
Penyelesaian pelanggaran HAM
Anum mengatakan pemerintah masih berutang terhadap penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua, salah satunya kasus Paniai Berdarah 2014.
Menurutnya, kasus Paniai Berdarah sudah masuk dalam proses hukum dan sudah selesai pada 2022 lalu, namun menurutnya, proses kasasi tidak dijalankan dan juga belum ada pemeriksaan ulang terhadap terdakwa yang baru.
“Kasus itu dikatakan terbukti sebagai kasus pelanggaran HAM tetapi terdakwanya dibebaskan. Karena itu seharusnya ada terdakwa baru dan sampai sekarang Mahkamah Agung tidak melakukan tahapan itu,” ujarnya.
Selain itu, Anum mengatakan ALDP juga mencatat upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM secara non yudisial. Menurutnya, pemerintah telah melakukan pertemuan di Jakarta pada April 2023 lalu dan berencana untuk membentuk tim lokal di masing-masing kabupaten/kota yang terdapat indikasi peristiwa pelanggaran HAM. Sementara itu, di Tanah Papua tim tersebut rencananya akan dibentuk di Wamena, akan tetapi hingga saat ini belum terbentuk.
“Sebenarnya ada satu penyelesaian non yudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [KKR] berdasarkan [ketentuan] pasal 46 undang-undang otsus [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua] ini sedang dilakukan penyusunan oleh Pemerintah Provinsi Papua dan tim Uncen. Namun ini juga masih terganjal di pemerintah provinsi dan juga komunikasi dengan kantor Menkopolhukam,” ujarnya.
Kasus melibatkan TNI
Anum mengatakan pihaknya juga mencatat kasus yang melibatkan TNI yang cukup mencuat, yakni kasus mutilasi empat warga sipil Nduga yang melibatkan enam anggota TNI dan empat warga sipil yang terjadi pada 2022 lalu. Sementara itu proses persidangannya dimulai dan berakhir pada 2023.
“Satu perwiranya meninggal dalam proses persidangan. Yang satu perwiranya di hukum seumur hidup dan dipecat. Empat sisanya dihukum 20 tahun penjara dan juga semuanya dipecat,” ujarnya.
Sementara itu, empat pelaku yang berasal dari warga sipil tersebut, tiga di antaranya dihukum seumur hidup dan satu dihukum 18 tahun penjara, sesuai hasil persidangan di Pengadilan Negeri Timika pada Maret hingga Juni 2023.
“Satu pelakunya [masyarakat sipil] pada Oktober [2023] kemarin melarikan diri,” ujarnya.
Selain itu, ALDP juga mencatat terkait dengan proses persidangan pembunuhan Eden Bebari dan Roni Wandik yang terjadi di Timika pada 2020 lalu. Menurutnya, dalam kasus ini sidang dilakukan dua kali di tempat yang berbeda lantaran pelakunya berasal dari institusi TNI yang berbeda.
“Pelaku yang berasal dari institusi di Bali itu baru persidangannya pada akhir tahun lalu [2023] dan mereka [divonis] bebas. [Sebanyak] dua orang tetapi pelaku yang berasal dari persidangan PM [Pengadilan Militer] di Manado itu mereka dihukum tujuh tahun,” ujarnya.
“Kita bisa melihat bahwa bagaimana TNI menjadikan peradilan militer menjadi tempat bersembunyi dari para oknum prajurit yang melakukan kesalahanan,” ujarnya.
Selain itu, ALDP juga mencatat terkait sejumlah anggota TNI yang diduga sebagai pelaku dalam peristiwa Intan Jaya pada 2020 lalu, yang kasusnya ditutup dan sampai saat ini pelakunya masih belum diproses hukum. (*)
Discussion about this post