Merauke, Jubi – Penyerapan beras dari petani di Kabupaten Merauke, Papua Selatan oleh Badan Urusan Logistik – Bulog di sana masih sangat rendah. Sejak Januari hingga November 2023, beras lokal yang terserap 1.082 ton atau hanya 6 persen dari target Bulog.
Pemimpin Cabang Perum Bulog Merauke, Firman Mando kepada Jubi, Rabu (2/11/2023), menyatakan bahwa pihaknya telah secara optimal melakukan penyerapan beras lokal sejak Januari hingga November 2023. Namun produksi beras dari hasil musim tanam pertama atau rendengan tahun 2023 sangatlah kecil, Bulog hanya bisa menyerap 1.082 ton.
“Dari Januari hingga sekarang November 2023 realisasi penyerapan kita itu di angka 1.082 ton. Itu yang kita serap kemarin dari panen musim tanam pertama padi atau rendeng 2023. Ini memang relatif masih kecil, sementara target kita 16 ribu ton dalam setahun ini. Kalau secara persentase itu baru sekitar 6 persen,” kata Mando.
Mando menjelaskan penyerapan beras lokal hasil musim tanam pertama tahun ini sangat rendah dikarenakan sejumlah faktor. Namun faktor utama penyebab turunnya produktivitas pertanian ialah El Nino. Kemarau panjang menyebabkan debit air menurun, dan tanaman padi tidak berproduksi secara maksimal.
“Yang paling utama masalahnya kondisi cuaca saat ini, yang mana kemarau panjang yang mengakibatkan ketersediaan air kurang dan produksi menurun. Faktor utama memang kondisi cuaca sehingga produksi beras menurun dari tahun – tahun sebelumnya,” jelas Mando.
“Jika di tahun-tahun sebelumnya penyerapan beras di atas 50 persen atau berkisar 16 ribu ton, sementara tahun ini hanya 6 persen. Faktor cuaca ini yang kemudian menyebabkan produksi menurun dan terjadi kenaikan harga beras,” sambungnya.
Mando juga menjelaskan bahwa kenaikan harga beras di tingkat petani disebabkan pembengkakan biaya produksi. Yang mana sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak – BBM, kenaikan biaya sewa alat mesin pertanian – alsintan seperti handtraktor, gounder (mesin traktor roda empat) dan combine (mesin panen padi), termasuk kenaikan upah kerja buruh.
“Masalah kenaikan harga beli beras di tingkat petani disebabkan banyak faktor. Dari sisi produksi ada penambahan-penambahan biaya produksi, seperti kenaikan harga bahan bakar, kemudian dari sewa menyewa alat-alat pertanian seperti traktor, gounder, combine, termasuk kenaikan biaya upah kerja buruh,” ujar dia.
Peningkatan harga beli di tingkat petani Merauke, kata Mando, turut mempengaruhi daya serap beras lokal oleh Bulog. Lantaran Bulog masih membeli beras dari petani dengan standar harga pembelian pemerintah – HPP senilai Rp9.950 per kilogram. Sementara di tingkat petani maupun di usaha penggilingan harga pembelian berkisar Rp11 ribu hingga Rp12.500 per kilogram.
“Di musim panen gadu atau hasil panen tanam kedua ini kami belum ada realisasi penyerapan sama sekali. Kenaikan harga di tingkat petani membuat kami tidak bisa menyerap. Harga di tingkat petani maupun di usaha penggilingan itu sudah jauh di atas HPP yang Rp9.950 per kilogram diterima di gudang Bulog. Sementara harga di lapangan itu berkisar Rp11 ribu hingga Rp12.500 per kilogram. Ini cukup tinggi dari HPP, sehingga juga menjadi kendala utama bagi kami untuk menyerap,” tutupnya. (*)