Oleh: Siorus Ewanaibi Degei*
Pada bagian terakhir tulisan ini, penulis memberikan gambaran seputar wajah demokrasi di Papua. Kita akan memaknai OAP atau orang asli Papua sebagai homo sacer dalam bingkai NKRI. Kita akan melihatnya dari salah satu sisi, yakni, dari sisi fenomena pembungkaman ruang demokrasi di Papua.
Hemat penulis, fenomena pembungkaman ruang demokrasi di Papua ini menjadi salah satu indikator primer, yang membuat treat record demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan.
Pertama, era Orde Lama (Orla). Ruang demokrasi pada Orde Lama di Papua terbilang sangat tertutup. Hal ini terbukti dari beberapa operasi militer, 1) Aneksasi atau pencaplokan wilayah Papua ke dalam NKRI melalui Trikora 1962 dan Pepera 1969; 2) Ambiguitas status politik Papua. Ketidakpastian status Papua akibat diperebutkan oleh Indonesia dan Belanda melalui perundingan-perundingan, yang sama sekali tidak melibatkan OAP; 3) kontrak karya PT Freeport pada 7 April 1967 lalu; 4) Pada tahun 1960-an demi menguasai wilayah Papua, pemerintah mengadakan mobilisasi massa, yang terdiri atas warga sipil (transmigrasi), aparat militer, baik militer organik, maupun anorganik (militerisasi). Hal ini berpuncak pada pemenangan Pepera 1969, dan 5) Merebaknya beberapa operasi militer di Papua, seperti, Operasi Winimurti (I, II, II, IV) pada masa Pagdam Brigjen Rukman-Brigjen R. Kartodjo, dilanjutkan Operasi Giat, Tangkas, dan Sadar pada tahun 1964-1965, Brhata Yudha 1966-1967 di bawah pimpinan Brigjen Bintaro, Wibawa 1967-1969 di bawah pimpinan Sarwo Edhie Wibowo.
Jumlah korban OAP yang berjatuhan berkisar dua sampai tiga ribu jiwa. Lima ribu jiwa lainnya mengungsi ke Papua Nugini dan Belanda. Wilayah operasinya adalah Manokwari-Sorong Raya, Paniai dan sekitarnya, Jayapura, Biak, dan Merauke;
Kedua, era Orde Baru (Orba). Pada masa ini status Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua semakin meningkat, mengingat Presiden Soeharto merupakan jenderal bintang lima, dan sistem pemerintahannya sangat otoriter, bahkan diktatoris di mata OAP.
Maka di bawah rezim Soeharto terjadi operasi militer yang sangat masif di Papua, seperti, Operasi Pamungkas 1971 (Brigjen Acup Zainal), Koteka 1977 (Brigjen Imam Munandar), Sapu Bersih 1878-1982 (Brigjen Ci Santoso), Sate 1984 (Brigjen RKRK Simbiring Meliala), Gagak-I 1985-1986 (Brigjen H. Simanjuntak), Gagak-II 1986-1987 (Brigjen Mayjen Setiana), Kasuari I 1987-1988 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali I 1989-1990 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali II 1990-1991 (Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar), Rajawali III (Mayjen I Ketut Wardhana), dan pengamanan daerah rawan (Mayjen Amir Sembiring).
Jumlah korban jiwa OAP berkisar 100 ribu jiwa (LP3BH Manokwari dan Yalle University), 600 ribu jiwa (Tom Benaal), 500 ribu (Benny Wenda), 1,5 juta jiwa (Yakobus E. Dumupa), sedangkan 40 ribu OAP mengungsi ke Papua Nugini, negara-negara Melanesia, Austraslia, dan Eropa. Wilayah operasi meliputi Sorong-Manokwari, Biak, Supiori, Serui, Jayapura, Keerom, Merauke, Boven Digul, Timika, Wamena dan sekitarnya;
Ketiga, Orde Reformasi. Pada masa ini rezim otoriter Orba yang berkuasa selama 35 tahun berhasil ditumbangkan oleh mahasiswa pada tahun 1998. Dari sini kran demokrasi terbuka, kebebasan pers dan berpendapat menjadi habitus baru Era Reformasi.
Tentunya momen tersebut menjadi kesempatan emas bagi rakyat Papua, untuk meluapkan dan menyuarakan jeritan penderitaaan dan penindasan yang dialaminya selama Orde Lama dan Orde Baru.
Namun, di era ini perlakukan terhadap OAP tak beda jauh dengan zaman Orla dan Orba. Terjadi beberapa peristiwa berdarah di Papua, seperti, Biak Berdarah (1998), Wamena Berdarah (2000), Abepura Berdarah (2000), Jenderal Wiranto meminta maaf dan mencabut status Papua sebagai DOM (1998) , Pengamanan Daerah Rawan (1989-1999), Operasi Pengendalian Pengibaran Bendera (1999-2002), Operasi Penyisiran Wamena (2000-2004) ;
Keempat, masa Otsus Jilid I-II. Otonomi khusus atau otsus lahir sebagai resolusi konflik Papua-Jakarta. Otsus adalah sebuah strategi untuk meredam konflik ala Jakarta dan elite-elite korup di Papua, untuk membunuh tuntutan Papua merdeka yang saat itu terus dituntut oleh mayoritas masyarakat asli Papua.
Jadi, ketika kran demokrasi dibuka di Era Reformasi, mayoritas masyarakat asli Papua, terutama kalangan intelektual, konsisten mengkampanyekan penarikan militer dari wilayah Papua, dan pengehentian operasi militer, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM, penghentian transmigrasi, dan menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Namun, pemerintah pusat dan antek-anteknya di Papua memperjuangakan otsus secara manipulatif dan tipu daya, karena mereka tidak mau kehilangan Papua.
Selama masa Otsus, yaitu mulai dari tahun 2001-2021 terjadi beragam kasus pelanggaran HAM berat, diantaranya; peristiwa Wamena 2003, Universitas Cenderawasih (Uncen) Berdarah 2006, Paniai Berdarah 2014, Ndugama Berdarah 2018-2019, aksi tolak rasisme tiga jilid pada 2019, dan Intan Jaya Berdarah 2020.
Perlu dicatat bahwa semua peristiwa ini sudah diinvestigasi oleh Komnas HAM RI, Amnesty International, dan sejumlah LSM kemanusiaan lainnya, baik lokal dan nasional, maupun LSM internasional sebagai pelanggaran HAM berat;
Kelima, daerah otonomi baru (DOB) pemekaran. Kita bisa saksikan di media bagaimana aparat keamanan dan pertahanan negara membungkam suara-suara kebenaran, keadilan dan kedamaian di Papua secara represif-militeristik dengan pemukulan, penembakan, pengejaran, pembungkaman, penyiraman gas air mata, penangkapan, penahanan, pelecehan, pemerkosaan, pemenjaraan, penindasan, dan pembunuhan.
Fenomena-fenomena yang disebutkan di atas inilah yang membuat penulis berani merefleksikan pemikiran filsafat politik Giorgio Agamben. Menurut penulis, NKRI adalah “neo-kamp konsentrasi” bagi Papua.
Beberapa rekomendasi yang penulis ketengahkan sebagai rekomendasi dan resolusi konflik, agar OAP tidak dipandang sebagai homo sacer dan “sistem NKRI” tidak dipandang sebagai “neo-kamp konsentrasi” lagi di Papua:
Pertama, buka kran kunjungan Komisioner Dewan Tinggi HAM PBB dan jurnalis asing yang independen dan kredibel ke Papua, untuk menginvestigasi, mengadvokasi, mendokumentasi dan mempublikasikan potret kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, terutama pembunuhan dan penihilan ruang demokrasi di Papua;
Kedua, revisi RKUHP yang mengancam eksistensi jurnalis, aktivis dan penggiat kemanusiaan, kebenaran, keadilan dan kedamaian di NKRI;
Ketiga, evaluasi kebijakan otsus dan DOB di Papua melalui dialog damai yang komprehensif;
Keempat, demi kemashlatan dan keselamatan demokrasi di Papua, konflik Jakarta-Papua segera diakhiri melalui dialog damai, sesuai gagasan mendiang Pastor Dr. Neles Kebadabi Tebai;
Kelima, segera adakan rekonsiliasi universal dan komprehensif lintas tiga “tungku api”, yakni, adat/budaya, agama dan pemerintahan (organ pergerakan bangsa Papua), yang difasilitasi oleh Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua