Jayapura, Jubi – Empat nelayan asal Kampung Hanuabada, Port Moresby melakukan trolling atau tonda, alat penangkap ikan yang ramah lngkungan, murah, dan mudah mengoperasikannya, terutama di Papua Nugini.
“Hari itu, Selasa (7/3/2023), keempat nelayan itu, Gaba Lohia (32), Lohia Michael Nou (18), Frank Doura (36), dan Maku Dai (22), melaut dan mencari ikan. Anehnya sejak hari itu mereka gagal kembali ke rumah sehingga memicu pencarian besar-besaran di laut dan udara,” demikian dikutip Jubi.id dari https://www.thenational.com.pg/back-home-after-ordeal, Kamis (2/3/2023).
Bayangkan! Selama 21 hari, keempat nelayan itu bertahan hidup hanya dengan air hujan dan kelapa. Apalagi kapal-kapal yang lewat justru mengabaikan tanpa berikan bantuan.
“Mungkin mengira kita adalah perompak,” kata keempat nelayan itu.
Para nelayan itu telah bertemu kembali dengan keluarga mereka di Port Moresby, Rabu (1/3/2023) kemarin.
“Kami melihat total 15 kapal,” kata Lohia.
“Kami tidak tahu dari mana mereka berangkat. Tapi tidak ada yang membantu kami mungkin karena mereka mengira kami bajak laut,” tambahnya.
“Setiap kali kami melihat kapal, kami akan berdiri dan melambai (memohon) bantuan. Kami melihat mereka melihat kami, tetapi mereka tidak membantu kami,” katanya.
Empat nelayan tersebut melakukan trolling pada 7 Februari dan gagal kembali ke rumah, memicu pencarian besar-besaran di laut dan udara.
Mereka akhirnya ditemukan pada 27 Februari di Kampung Domara di Abau, Tengah.
Lohia mengatakan kepada The National kemarin bahwa melalui anugerah Tuhan mereka berhasil bertahan hidup di laut lepas selama hampir 21 hari.
Mereka meninggalkan Kampung Hanuabada dengan membawa dua tangki bahan bakar, dayung, jaring ikan, air, dan makanan yang cukup untuk sehari.
“Ketika kami meninggalkan kampung, kami pergi ke laut dalam tanpa mengetahui bahwa badai akan datang,” katanya.
“Ketika badai menghantam kami, kami tidak bisa melihat awan. Ketika kami menyadari bahwa angin dan arus membawa kami ke pantai tenggara, kami memutuskan untuk berhenti di dekat Teluk Taurama untuk menunggu angin berhenti. Karena arusnya terlalu kuat, kami tidak bisa melihat pegunungan, lampu dari desa, dan daratan,” katanya.
Dia mengatakan mereka berada di lautan selama lebih dari seminggu, dan pada satu tahap hanyut hingga Alotau.
Tapi mereka tidak melihat ada helikopter atau kapal yang dikirim untuk mencari mereka. Doura yang emosional mengatakan dia tidak percaya bahwa mereka selamat dari cobaan itu.
Kadang-kadang ketika mereka melihat daratan, mereka mencoba mendayung ke arah pantai, tetapi tidak bisa.
“Gaba dan saya lebih tua dan lebih kuat, dan perhatian kami adalah adik laki-laki kami Maku dan Lohia,” kata Doura.
“Kami berhasil mengambil kelapa yang mengapung dan membaginya hanya untuk makan sesuatu,” tambahnya.
Pada 26 Februari, keempatnya melihat cahaya dari beberapa nelayan jauh dari tempat mereka berada.
Mereka menggunakan mesin motor tempel mereka sebagai jangkar untuk menahan kolek.
Senin dini hari, 27 Februari, mereka diselamatkan nelayan dari Kampung Domara dan dibawa ke desa tersebut.
Dengan bantuan Pasukan Pertahanan PNG, mereka diangkut pulang kemarin. (*)