Jayapura, Jubi – Koordinator Divisi Keadilan Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Buswarimba Alhamid mengatakan pihaknya mencatat ada 53 kasus kekerasan maupun konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua pada periode Januari – Desember 2022. Hal itu dinyatakan Alhamid dalam peluncuran Laporan Situasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 2022 di Papua yang digelar secara daring pada Senin (27/2/2023).
“Sepanjang tahun 2022 di tanah Papua terjadi 53 kasus kekerasan dan konflik bersenjata. [Sejumlah] enam kasus [terjadi] di Papua Barat, dan 47 kasus [terjadi] di Papua. Di Sorong, Papua Barat, terdapat satu kasus dan 19 korban jiwa yang disebabkan konflik antar masyarakat sipil,” kata Alhamid.
Menurutnya, data kekerasan AlDP tersebut dihimpun dari berbagai sumber. Alhamid menyatakan jumlah kasus kekerasan itu menurun jika dibandingkan jumlah kasus kekerasan pada tahun 2021, yang mencapai 63 kasus. Dalam catatan AlDP, jumlah korban pada 2022 justru jauh lebih banyak dan beragam dari segi usia, profesi, dan etnis.
Selain itu, AlDP mencatat ada sejumlah kekerasan, penembakan, atau kontak tembak yang menimbulkan banyak korban. Di Sorong, Papua Barat, ada sebuah konflik antar warga yang menimbulkan 19 korban jiwa. Di Kabupaten Nduga, terjadi empat kasus kekerasan yang secara akumulatif menimbulkan 14 korban jiwa.
Alhamid mengatakan pihaknya juga mencatat jumlah anak yang menjadi korban dalam berbagai peristiwa kekerasan di Tanah Papua. Menurutnya, sepanjang 2022, ada 14 anak yang menjadi korban penganiayaan, kekerasan dan pembunuhan di berbagai lokasi di Tanah Papua.
“[Sejumlah] tujuh orang [anak] mengalami penganiayaan di Kabupaten Puncak, [dilakukan] oleh [prajurit] TNI, [dan] satu diantaranya meninggal dunia. Seorang anak mengalami penganiayaan di Yalimo, [dilakukan] oleh orang tidak dikenal. [Sejumlah] tiga anak mengalami penganiayaan di Keerom, [dilakukan oleh prajurit] TNI. [Ada] seorang anak mengalami luka tembak di Intan Jaya, [diduga dilakukan] oleh [prajurit] TNI. Dan dua anak mengalami luka tembak di Mappi, [dilakukan] oleh oknum aparat,” kata Alhamid.
AlDP mencatat juga ada semakin banyak kekerasan yang menimbulkan korban, namun pelakunya tidak teridentifikasi. Kekerasan itu terjadi di Kabupaten Yalimo (2 kasus), Kabupaten Puncak (2 kasus), Kabupaten Dogiyai (1 kasus), Kabupaten Wamena (1 kasus), dan Manokwari (1 kasus).
“Kami mencatat juga ada enam peristiwa penembakan terhadap masyarakat sipil yang profesi sebagai tukang ojek, supir, dan pekerja bangunan yang dituduh sebagai intelijen oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, namun tuduhan itu dibantah oleh TNI dan Polri. Kekerasan itu terjadi di Kabupaten Puncak (3 kasus), Yahukimo (1 kasus), Pegunungan Bintang (1 kasus) dan Maybrat (1 kasus),” kata Alhamid.
Ia mengatakan juga ada tiga peristiwa kekerasan yang melibatkan sesama anggota TNI. Peristiwa itu terjadi di Kabupaten Jayawijaya (1 kasus), Lanny Jaya (1 kasus) dan Merauke (1 kasus). Selain itu, AlDP juga mencatat bahwa pada 2022 terdapat satu kasus bentrokan antara antara TNI dan Polri yang terjadi di Kabupaten Merauke.
“Kami juga mencatat peristiwa aksi kekerasan dan konflik bersenjata pada 2022 dalam bentuk merusak atau membakar fasilitas umum/alat transportasi seperti sekolah, puskesmas, rumah warga, dan pesawat. Ada delapan peristiwa yakni di Puncak tiga peristiwa, Yalimo satu peristiwa, Yahukimo satu peristiwa, Dogiyai satu peristiwa, Paniai peristiwa, dan Nduga satu peristiwa,” katanya.
Alhamid mengatakan berbagai konflik kekerasan yang terjadi mengakibatkan ruang publik makin sempit, karena menjadi zona konflik. “Konflik bersenjata tidak saja terjadi di pos-pos tetapi juga di pasar, di jalan utama dan tempat fasilitas layanan publik dalam durasi yang cukup lama. Beberapa peristiwa bahkan mengorban rakyat sipil dalam jumlah besar, atau dengan cara yang sadis dan tidak manusiawi,” katanya.
Menurutnya, selama konflik dan kekerasan terus terjadi di Tanah Papua, tidak ada perlindungan dan jaminan keamanan bagi masyarakat sipil/kelompok rentan/minoritas. Mereka bisa menjadi korban dari tindakan eksesif dan represif yang dilakukan para aktof konflik, bagi TPNPB maupun aparat keamanan TNI/Polri. (*)