Jayapura, Jubi – Dewan Adat Papua atau DAP mulai menggelar sidang peradilan adat perdana pada 28 Oktober 2022 di Jayapura dengan materi pokok perkara “Kriminalisasi dan Pelanggaran HAM Terhadap Pemimpin dan Rakyat Papua serta Perampokan atas Sumber Daya Alam milik Masyarakat Adat Papua”.
Sidang dipimpin oleh lima hakim masing-masing Dominikus Sorabut (Ketua Hakim), Willem Rumaseb (Hakim Anggota), dan Manfun Apolos Sroer (anggota), Mananwir Semuel Awom (aggota), Ondoafi Septinus Puraro (anggota).
Pengadu/pemohon adalah masyarakat adat Papua di tujuh wilayah adat Papua (mewakili tujuh wilayah adat hadir).
Sidang perkara peradilan adat sesuai hasil dan mandat komunike pleno XIII tertanggal 7-9 Oktober 2022. Sidang peradilan adat ini digelar dengan menerima hasil komunike pleno dan menerima pengaduan dari masyarakat adat Papua yang diwakili oleh pemimpinan dari tujuh wilayah adat Papua kepada hakim Dewan Adat Papua.
Hakim Ketua, Dominikus Sorabut yang juga sebagai Ketua Dewan Adat Papua, kepada Jubi, Minggu (30/10/2022), mengatakan sidang peradilan adat ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Prof. Dr, H. Mohammad Mahmud Mahmodin, SH, S.U., M.I.P, Manteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D, Ketua Komisi Pemberantasan Keuangan (KPK) Republik Indonesia, Drs. Firli Bahuri, M.Si sebagai saksi.
“Para saksi tersebut tidak hadir dalam perkara peradilan adat ini, namun hakim adat bersepakat sidang digelar untuk menerima dan mengesahkan pengaduan dari masyarakat adat Papua,” kata Dominikus Sorabut.
Dominikus Sorabut melanjutkan dengan membaca materi pokok perkara utama yaitu masyarakat ada sebagai pemilik saham utama atas tanah dan sumber daya alam di seluruh Tanah Papua, selama ini investasi dan divestasi di atas Tanah Papua dilakukan tanpa melibatkan dan mendapat persetujuan oleh masyarakat adat Papua.
Hasil pegelolaan sumber daya alam tidak mendapat bagi hasil (royalti, saham, kompensasi dan lain-lain) kepada masyarakat adat sebagai pemilik. Sehingga, perilaku ini sudah diterapkan sejak tahun 1965 hingga kini.
“Contohnya investasi besar seperti PT. Freeport Indonesia, BP LNG British Petrolium, Pertro China, penebangan hutan, pengambilan biota laut dan lain sebagainya. Masyarakat Adat Papua miskin dan termarginalkan di atas tanah airnya sendiri. Oleh sebab itu, masyarakat adat [pengadu] menuntut kepada pemerintah Indonesia dan para investor membayar kerugian atas perampokan sumber daya alam milik masyarakat adat Papua,” ucapnya.
Selain itu, kata Sorabut, konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat Papua sejak 1963 hingga sekarang terjadi dalam berbagai kasus, mulai pembunuhan, pemenjaraan, penghilangan paksa dan diskriminasi rasial oleh aparat negara di luar hukum, keadilan dan kemanusiaan.
Bahkan, sejak awal konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat di daerah konflik sudah mengungsi bahkan ada yang sembunyi di hutan, dan melarikan diri ke negara lain akibat operasi militer Indonesia yang masif.
“Begitu juga tingkat kekerasan fisik dan mental terus meningkat. Masyarakat adat Papua tidak punya masa depan hidup di atas tanah air Papua. Olehnya masyarakat adat menuntut kepada negara Indonesia dan para pihak yang mendonasi kekerasan di Papua untuk mempertanggungjawabkan secara hukum adat atas kejahatan kemanusian ini,” katanya.
Tak lupa mengenai kekerasan rasial dan diskriminasi para pemimpin, pejabat publik dan terhadap anak-anak adat Papua dari waktu ke waktu terus dihadapi, diisolasi dalam penjara dan suaka politik ke negera tetangga.
Dari semua itu, titik klimaks sedang dihadapi oleh Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe. Untuk itu masyarakat adat Papua menuntut negera memulihkan nama baik dengan melakukan permohonan maaf terhadap para pemimpin, pejabat publik dan anak-anak adat yang sudah dan sedang mengahadapi kekerasan rasial dan kriminalisasi ini.
“Inilah pokok perkara sidang peradilan adat. Setelah ini sidang akan dilanjutkan dengan batasan waktu dua minggu berjalan. Dalam sidang kedua ini juga akan mengundang saksi dari pihak pemerintah Indonesia dan pihak pengadu [pemohon] untuk hadir. Sidang lanjutan ini, akan dimintai keterangan pengadu secara terperinci dari pokok perkara di atas dalam bentuk narasi lengkap,” katanya. (*)