Jayapura, Jubi – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua atau MRP, Yoel Mulait mengatakan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materiil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua atau UU Otsus Papua Baru dari MRP, pemerintah daerah di Papua harus memastikan hak Orang Asli Papua tetap terlindungi. Hal itu dinyatakan Mulait saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Rabu (7/9/2022).
Mulait menyatakan permohonan uji materiil UU Otsus Papua Baru diajukan MRP kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghindari multi tafsir undang-undang itu. Mulait menyatakan 20 tahun pertama pelaksanaan Otonomi Khusus Papua gagal, karena banyak kewenangan khusus yang tidak dapat dijalankan.
“Inti dari uji materil MRP adalah memperkuat posisi UU itu sendiri. [Hal itu dilakukan] agar tidak terjadi multi tafsir dan menghambat afirmasi di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur,” kata Mulait.
Mulait berharap pasca putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materiil itu Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah kabupaten/kota di Papua dapat menjalan UU Otsus Papua Baru secara lurus. Pemerintah daerah di Papua tidak boleh mengabaikan hak Orang Asli Papua, sebagaimana yang terjadi dalam 20 tahun pertama pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.
“Perubahan UU Otsus Papua Baru tidak melalui mekanisme yang benar. Tapi, kemudian proses pembahasan dan penetapan UU Otsus Papua Baru tetap berjalan. MRP melakukan langkah konstitusional, [mengajukan permohonan uji meteriil] dengan maksud menyampaikan aspirasi rakyat Papua. Tapi mau bilang apa lagi, [permohonan uji materiil] UU Otsus Papua Baru ditolak,” kata Mulait.
Meskipun UU Otsus Papua Baru dibuat DPR RI dan pemerintah pusat tanpa melibatkan MRP maupun DPR Papua, Mulait tetap berharap undang-undang itu bisa berhasil mewujudkan janji pemerintah menyejahterakan rakyat Papua. Jika UU Otsus Papua Baru gagal dijalankan secara lurus, sebagaimana 20 tahun kegagalan pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama), maka kerugian bagi semua pihak akan terus berjalan.
“Selama 20 tahun implementasi Otsus Papua, ada 24 kewenangan khusus [yang diatur dalam UU Otsus Papua Lama], hanya empat kewenangan yang menurut catatan MRP efektif dilaksanakan. Itu termasuk ketentuan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Papua harus Orang Asli Papua, pembentukan MRP, mekanisme 14 kursi khusus dalam DPR Papua, dan kucuran Dana Otsus Papua. 20 kewengan khusus lainnya terabaikan,” kata Mulait
Mulait mencontohkan mandat UU Otsus Papua Lama untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak kunjung dilaksanakan pemerintah pusat. Menurutnya, MRP telah berulang kali mengusulkan perubahan undang-undang itu, dengan tujuan untuk memperkuat aturan kewenangan khusus sehingga dalam dijalankan, akan tetapi usulan MRP selalu diabaikan.
“[Usulan] perubahan [UU Otsus Papua Lama] telah ajukan sejak MRP periode pertama sampai dengan periode ketiga, tidak direspon [dan] tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat. [Tiba-tiba] ada perubahan UU [tanpa melibatkan MRP]. MRP melihat bahwa perubahan itu perlu diuji melalui Mahkamah Konstitusi,” kata Mulait menjelaskan.
Mulait mengatakan UU Otsus Papua Baru membuat banyak perubahan substansial, misalnya tentang tata cara pemekaran provinsi di Tanah Papua. “Sebelumnya pemekaran [provinsi hanya bisa dilakukan melalui] satu pintu, [yaitu] aspirasi masyarakat Papua melalui MRP dan DPR Papua [yang] diajukan kepada DPR RI. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menegaskan pemekaran [provinsi] bisa [dilakukan] oleh pemerintah pusat, dan bisa [didasarkan] aspirasi rakyat,” ujar Mulait.
Ia menjelaskan proses persidangan di Mahkaman Konstitusi itu memakan waktu satu tahun satu hari, dari tanggal 30 Agustus 2021 hingga diputus pada 31 Agustus Tahun 2022. Mulait mengatakan posisi MRP mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat Papua secara konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi. “Dari materi gugatan yang diajukan, MRP melihat [UU Otsus Papua Baru] berpotensi merugikan Orang Asli Papua, namun Mahkamah Konstitusi melihat dan mempelajari, putusan akhir mereka menolak gugatan MRP,” katanya. (*)