Jayapura, Jubi – Koordinator Tiki Jaringan Hak Asasi Manusia Perempuan Papua, Fien Jarangga, mendesak pemerintah harus segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR guna menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua dapat segera berjalan.
Hal itu disampaikan Jarangga sebagai pembicara dalam diskusi “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Tantangannya di Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua secara daring, pada Jumat (29/7/2022).
Jarangga menilai bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus segera lantaran para korban tidak bisa menunggu lebih lama. Jarangga menyatakan pihaknya mencatat dalam laporan “Stop Sudah” yang diluncurkan pada 2009 setidaknya terjadi 135 kasus pelanggaran HAM khususnya terhadap perempuan oleh negara dalam rentan waktu 1963-2009.
Jarangga menyatakan para korban ini harus segera mendapatkan pemulihan karena hingga saat ini kekerasan yang dialami mereka itu menyebabkan korban harus hidup dengan ketidakberdayaan dan trauma.
“Apakah kita harus menunggu pemerintah harus bikin peraturan-peraturan yang berlaku dulu baru melakukan pemulihan kepada korban. Tidak bisa, korban tidak bisa tunggu peraturan-peraturan [pembentukan KKR]. Korban ini setiap saat membutuhkan pemenuhan hak,” katanya.
Ketua Tim Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Universitas Cenderawasih, Prof Dr Melkias Hetharia, menyatakan untuk mendorong rencana pembentukan KKR ini telah dilakukan beberapa kegiatan, yakni seminar, rapat, maupun Focus Group Discussion, baik di Tanah Papua maupun di Jakarta.
“Saya hitung itu sudah ada 19 kali pertemuan [rencana pembentukan KKR],” ujarnya.
Hetharia menyatakan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bisa dibentuk melalui Peraturan Presiden dengan usulan dari Gubernur Papua. Ia menyatakan pada tahun 2019, Gubernur Papua, Lukas Enembe, pernah menyampaikan dalam tiga tahun ke depan akan membentuk KKR.
Hetharia menjelaskan setelah nanti dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM harus memperhatikan budaya masyarakat Papua. Artinya, kehidupan masyarakat Papua sangat kental dengan adat-istiadat maka penyelesaian pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui hukum adat.
Menurut Hetharia penyelesaian hukum adat dinilai dapat memberikan rasa keadilan terutama terhadap masyarakat adat Papua.
“Kalau Aceh itu mereka menggunakan hukum agama atau syariat Islam dalam hal [penyelesaian pelanggaran HAM] ini,” katanya. (*)
Discussion about this post