Jayapura, Jubi – Kuasa Hukum PT Papua Graha Mandiri, advokat Kodrat Effendi SH MH mengatakan pengukuran tanah di permukiman yang ditempati warga Konya, Kelurahan Kota Baru, Distrik Abepura, Kota Jayapura diajukan PT Papua Graha Mandiri berdasarkan lima sertifikat Hak Guna Bangunan atau HGB yang diterbitkan pada 2002. Effendi mengatakan tanah bersertifikat HGB seluas 77.875 meter persegi itu dibeli PT Papua Graha Mandiri dari PT Wemony.
Hal itu disampaikan Kodrat di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Jumat (19/1/2024). “[Klien kami] beli [tanah] dari PT Wemony sudah [disertai] sertifikat HGB dan [surat] pelepasan [tanah],” ujar Kodrat di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (19/1/2024).
Pada 7 Januari 2024, Warga Konya di Kelurahan Kota Baru, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, mengadukan pengukuran tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional atau BPN Kota Jayapura ke Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua. Warga Konya menyatakan tanah yang diukur para petugas BPN Kota Jayapura pada 19 Desember 2023 itu telah ditempati warga Konya sejak 1980-an.
Para warga Konya menyatakan mereka menempati tanah itu karena telah membayar kepada pemilik hak ulayat dari keondoafian Yoka, dengan harga berkisar Rp5 juta hingga Rp10 juta. Pengukuran tanah pada 19 Para warga Konya khawatir pengukuran tanah pada 19 Desember 2023 akan membuat mereka terusir dari tempat tinggalnya.
Selaku kuasa hukum PT Papua Graha Mandiri, Kodrat membenarkan pihaknya telah mengajukan surat untuk melakukan pengukuran pengembalian batas tanah ke BPN Kota Jayapura. Ia menjelaskan surat BPN Kota Jayapura memuat pengukuran pengembalian batas bidang tanah atas nama Anita Gettruida Elfrida Wuisan.
Menurut Kotrat, Anita adalah salah satu pendiri dari PT Papua Graha Mandiri. “Kami ajukan itu berdasarkan lima sertifikat Hak Guna Bangunan. [Dan] keluarlah undangan yang dibuat oleh BPN Kota Jayapura. Undangan tersebut dibagikan kepada distrik, kelurahan, RT/RW, dan warga Konya,” katanya.
Kodrat menyatakan sertifikat Hak Guna Bangunan karena kepemiliknya lebih dari satu orang atau bersama. Effendi mengatakan PT Papua Graha Mandiri juga memiliki surat pelepasan dari pemilik hak ulayat pada 1991.
“Kami sudah punya surat tanda pelepasan, justru kami punya pelepasan sejak 1991 dan sertifikat terbit pada 2002. Kalau mereka [warga] sudah bayar di ondoafi, kami tidak tahu,” ujarnya.
Menurut Kodrat, pihaknya meminta pengukuran batas tanah untuk melakukan pemagaran, sehingga tidak terjadi tumpang tindih penggunaan tanah pada saat pembangunan. Kodrat mengatakan pihaknya melibatkan polisi lantaran tidak ingin terjadi keributan dengan warga.
“Maka diperlukan pengukuran itu sehingga [proses pembangunan] tidak [melakukan] kesalahan. Kami pakai anggota [polisi] karena di Papua ini sudah banyak kejadian proses pengembalian batas selalu ribut. Kami tidak mau ada keributan-keributan, terus ada benturan. Aparat hadir di situ sebagai penengah, dan sesuai dengan prosedur,” ujarnya.
Kodrat mengatakan pihaknya juga telah melakukan pembicaran dengan warga Konya pada 3 Januari 2024. Kodrat menyatakan dalam pertemuan itu ia menyampaikan akan melakukan pemagaran, dan setelah selesai akan mengadakan pertemuan bersama warga.
“Kami juga mempunyai hati nurani. Saya janji kepada masyarakat, kalau dalam proses pemagaran ada rumah warga masuk [persil klien kami], nanti kita bicarakan solusinya apa. Kami akan duduk bersama dengan ondoafi, kepala suku, dan warga dan akan bicarakan nasib warga,” ujarnya.
Kuasa Hukum PT Papua Graha Mandiri lainnya, advokat Yulen Gat Mamongan SH MH mengatakan pihaknyak tidak ada serta merta mengusir warga yang tinggal di dalam persil kliennya. “Untuk memastikan itu, akan dilakukan pemagaran dulu, biar patoknya kita lihat to apakah [rumah warga] masuk atau tidak. Mungkin selesai pemagaran akan ada solusi bagi masyarakat yang ada di lokasi tersebut. Jadi bukan [kami mau] serta merta usir masyarakat,” katanya. (*)
Discussion about this post