Jayapura, Jubi – Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua meminta Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan memediasi pro-kontra rencana pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan di Kabupaten Jayawijaya. Kantor itu rencananya dibangun di atas tanah seluas 108 hektare milik masyarakat adat Walesi dan Wouma.
Anggota Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan Penjabat Gubernur Papua Pegunungan dan Kementerian Dalam Negeri tidak boleh mengabaikan fakta bahwa pemilik hak ulayat menolak rencana pembangunan kantor itu. Anum menyatakan pemerintah harus bersikap bijak dan memediasi pro dan kontra pembangunan kantor pemerintahan di Provinsi Papua Pegunungan itu.
“[Pemerintah] harus melihat fakta ada [yang] pro dan [ada yang] kontra. Pemerintah tidak boleh mengabaikan,” kata Anum dalam keterangan pers di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Kamis (18/1/2024).
Anum mengatakan pengabaian aspirasi masyarakat adat yang menolak rencana pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan bisa menimbulkan konflik sosial di antara masyarakat adat.
“[Pemerintah] mereka mengabaikan kelompok yang menolak. Cara mereka mengabaikan adalah kasih uang. Itu kan pemerintah sedang memecah belah masyarakat. Itu gaya pemerintah dari daerah sampai pusat. [Pemerintah] dia hanya bertemu dengan orang yang sepaham dengan dia. Itu bukan dialog. Dialog itu terima yang pro dan kontra,” ujar Anum.
Anum juga menyayangkan cara pemerintah memakai aparat keamanan untuk mengamankan proses pembangunan itu. Menurut Anum, kehadiran aparat keamanan di lokasi pembangunan menunjukan ada masalah dalam pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan.
“Adanya aparat menandakan ada masalah yang mereka tidak bisa selesaikan. Jadi mereka pakai aparat [untuk meredam masalah],” katanya.
Anum meminta Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Kementerian Dalam Negeri segera mengajak kelompok masyarakat yang pro maupun kontra pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas pro-kontra itu. Anum mengatakan pihaknya akan mengambil langkah hukum jika Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan tidak memediasi pro-kontra pembangunan kantor gubernur itu.
“Kami akan mengambil langkah hukum. [Tapi] kita berpendapat langkah hukum itu sebaiknya langkah berikut. Ayo dengar masyarakat, [mereka harus] diajak bicara. Ko tidak boleh pakai politik kasih uang,” ujarnya.
Abaikan rekomendasi Komnas HAM
Koordinator Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobay mengatakan lahan yang rencana dijadikan kantor pemerintahan adalah lahan pertanian produktif yang digarap masyarakat adat Wouma dan Walesi. Gobay khawatir apabila tanah adat itu diambil masyarakat akan kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka.
“Jika tanah adat diambil alih oleh pemerintah untuk pembangunan, mereka masyarakat adat akan pindah ke mana? Tanah di sebelah adalah tanah adat milik marga lain. Dalam satu suku itu jelas, kepemilikan tanah [didasarkan] marga, apa lagi beda suku, itu lain lagi. Orang yang kehilangan tanah akan jadi orang yang hidup tanpa tanah, dan itu sungguh sangat keterlaluan,” kata Gobay.
Gobay mengatakan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan seharusnya mempertimbangkan hasil penyelidikan Komnas HAM RI pada 4 – 6 Oktober 2023. Hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan rencana pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan di atas hak ulayat adat Walesi dan Wouma melanggar Hak Asasi Manusia dan akan menimbulkan konflik.
“Tentu kami tidak mau [konflik] terjadi di sana. Penjabat Gubernur Papua Pegunungan bisa mengambil peran sesuai dengan perintah Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah setempat memiliki kewajiban melindungi hak masyarakat adat dan pemanfaatan tanah adat,” ujar Gobay.
Gobay mengingatkan pemerintah tidak melakukan penyesatan terhadap warga. Menurut Gobay, penyesatan informasi terkait pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan akan memicu konflik horizontal.
“[Pro-kontra yang telah terjadi] itu diruncing oleh pemerintah dengan cara memberikan uang yang tidak jelas sumbernya, dan tidak jelas arahnya kepada siapa. [Saat] ini sudah ada percikan-percikan untuk menciptakan konflik di antara dua kubu,” ujarnya.
Masyarakat sudah terpecah
Perwakilan masyarakat adat Wouma, Melki Wetipo mengatakan rencana pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan telah membuat masyarakat adat terpecah. Ia menyatakan pemerintah dengan sengaja merampas tanah masyarakat adat dengan cara memberikan uang kepada masyarakat yang bukan pemilik hak ulayat atau penggarap.
“Kami masih tetap tolak. Walaupun yang dong istilahkan sudah bayar uang tanah, kami yang tolak tetap tolak. Kami masih berharap Koalisi kawal kami. Soal tanah itu kita tidak bisa hitung dari jumlah manusia [yang] ikut ambil uang. Kami bicara tentang hak ulayat, soal hak ulayat satu orang pun harus diikut, perempuan pun harus dihitung,” ujarnya.
Wetipo mengatakan masyarakat adat melakukan protes dengan melakukan pemalangan aktivitas pembangunan dengan cara menyegel dua alat eskavator.
Wetipo mengatakan pemalangan dilakukan karena tanah yang akan menjadi lokasi Kantor Gubernur Papua Pegunungan itu adalah penghidupan warga.
“Itu wilayah yang tersisa di situ, ada kebun, dan perkampungan warga. [Kalau] itu juga yang pemerintah mau ambil, baru kami mau ke mana? Kalau kebun kami di ambil, [itu] sama dengan mengusir kami. Kami orang gunung hidup dengan tanah dan kebun. Kami minta Koalisi untuk selidiki masalah itu. Kami tidak bisa ke mana-mana lagi,” ujarnya.
Perwakilan Masyarakat adat Walesi, Bonny Lanny menilai Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan melepas tanggung jawabnya. Lanny mengingatkan jika pemerintah secara diam-diam memberikan uang ganti rugi lahan kepada pihak tertentu, hal itu akan memantik konflik di masa depan.
“Pemerintah dengar sebelah, dan kami pemilik hak ulayat tidak didengar dan diabaikan. [Pemerintah] mereka kasih uang itu ganti rugi kebun-kebun yang rencana digusur. Satu kebun Rp5 juta sampai Rp150 juta,” katanya.
Lanny mengatakan pihaknya akan terus melakukan pemalangan lokasi itu. Menurutnya, hingga kini pembangunan kantor itu terus berlanjut.
“Kami merasa tidak dianggap sebagai pemilik hak ulayat. Kita akan naik ke Wamena, dan melakukan pemalangan, minta pemerintah dalam waktu dekat untuk fasilitasi. Pekerjaan masih jalan, dan ada pasukan TNI ikut mengawal pekerjaan di lokasi pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Saya sudah tegur mereka, tapi mereka tetap kerja,” ujarnya. (*)
Discussion about this post