Jayapura, Jubi – Greenpeace Indonesia menilai Debat Calon Wakil Presiden Pemilihan Umum 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum pada 21 Januari 2024 lalu tidak menyentuh akar masalah lingkungan di Indonesia. Debat itu juga tidak menyentuh persoalan mendasar krisis iklim.
Hal itu dinyatakan Konsolidator Gerakan Greenpeace Indonesia di Papua, Wirya Supriyadi di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (24/1/2024). Wirya mengatakan perdebatan ketiga calon wakil presiden tidak menunjukkan komitmen mereka terhadap isu lingkungan dan krisis iklim. Perdebatan itu juga tidak menunjukkan bagaimana masing-masing pasangan calon akan mengatasi kerusakan lingkungan dan krisis iklim.
“Greenpeace memandang apa yang diperdebatkan itu masih jauh dari akar permasalahan. Perdebatannya cuma seperti retorika, tidak menaikan substansi yang cukup baik soal lingkungan dan sumber daya alam,” katanya.
Menurut Wirya, perdebatan para calon wakil presiden (cawapres) tidak menghadirkan pembahasan yang lebih mendalam. “Debat yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan industri ekstraktif misalnya, baik di Indonesia maupun di Papua, seperti [yang terjadi dalam] perkebunan kelapa sawit. [Pertambangan] juga membutuhkan lahan yang luas dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar. Namun [kedua hal itu] belum terlalu disoroti, masih sebatas retorika,” katanya.
Wirya menyatakan ketiga cawapres tidak menawarkan konsep yang jelas tentang bagaimana mengatasi kerusakan lingkungan dan mengatasi krisis iklim. Bahkan, ketiga cawapres tidak menyampaikan komitmen yang tegas terkait masalah lingkungan dan iklim.
“Situasi lingkungan dan krisis iklim harus dielaborasi. Bumi ini semakin panas, tapi tidak ada pernyataan yang berkaitan dengan bagaimana mengatasi krisis iklim dari ketiga cawapres tersebut. Saya pikir, [debat itu] masih jauh dari ekspektasi kami sebagai penggiat lingkungan,” katanya.
Greenpeace Indonesia menilai ketiga cawapres juga tidak menawarkan konsep penyelesaian konflik agraria akibat Proyek Strategis Nasional atau PSN. Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkapkan pada 2023 terjadi 42 konflik agraria akibat PSN. Konflik itu meliputi 516.409 hektare lahan, dan berdampak terhadap lebih dari 82 ribu keluarga.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan angka deforestasi sepanjang tahun 2015 – 2022 mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang hingga 2022 tersisa 34 juta hektare.
Sepanjang 1992-2019 ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua. Total luasan pelepasan kawasan hutan itu mencapai 1,5 juta hektare. Dari luasan itu, 1,1 juta hektare masih berupa hutan alam dan gambut. (*)
Discussion about this post