Jayapura, Jubi- Bulan Januari, 50 tahun lalu di lokasi tambang PT Freeport di wilayah Suku Amungme terjadi peristiwa keresahan terbesar bagi mereka di Bumi Amungsa.
Saat itu tercatat sebanyak 12.000 jiwa warga Suku Amungme yang berdiam di sekitar Kota Tembagapura dan wilayahnya terdapat sekitar 17 lembah dengan perkampungan mereka di Nemangkawi alias Anak Panah Putih.
“Hadirnya perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini (PT Freeport Ind) padat modal ini dan modern, maka muncullah masalah sosial, ekonomi dan budaya yang mendorong mendesaknya kebutuhan pendidikan bagi suku Amungme, sehingga usaha permukiman kembali menjadi masalah utama kala itu.”
“Kita harus selalu mengingat peristiwa January Agreement 1974 saat itu, dan harus melawan lupa soal perjanjian Januari 1974 antara masyarakat Amungme dan PT Freeport Indonesia kala itu,”kata pengacara kelahiran Kokonao Mimika, Aloysius Renwarin kepada jubi awal Januari 2024 ini di Jayapura.
Dia menegaskan, hadirnya perusahaan besar PT Freeport waktu itu memunculkan keresahan yang semakin mendesak bagi mereka. “Oleh karena itu bagi saya peristiwa Januari 1974 jangan sampai dilupakan bagi semua orang Amungme sekarang,”katanya.
Lalu apa sebenarnya peristiwa Januari 1974?
Pada 5-11 Januari 1974 di Tembagapura terjadi perundingan antara penduduk Amungme, Freeport Indonesia dan dihadiri pula pemerintah Provinsi Irian Jaya serta Komando Daerah Kepolisian (Kodak) XXI Irian Jaya.
“4 Januari 1974 di Tembagapura para pemuda dan masyarakat Amungme berdemo dengan tujuan mengajukan kehendak dan keinginan mereka. Bahwa perundingan ini agar segera menghasilkan suatu penyelesaian menyeluruh bagi masa depan mereka di atas Bumi Amungsa, Nemangkawi.”
Tokoh tokoh utama suku Amungme hadir pula dalam perundingan itu antara lain, Tuarek Narkime, Naimun Narkime, Arek Beanal, Pitaragome Beanal, Paulus Magal dan Kawal Beanal. Hadir pula dua tokoh muda Amungme kala itu Tom Beanal anggota DPRD Kabupaten Fakfak dan Constant Hanggaibak, mahasiswa APDN.
Selain itu dari pihak pemerintah di bawah pimpinan AW Darwish Kaditsospol Provinsi Irian Jaya dan rombongan serta pejabat Kodak XXI Let kol (Pol) Soeratman. Sedangkan pihak PT Freeport yang hadir dalam perundingan Januari 1974 adalah RL West Vice President dan General Manager, TL Vandengriff, HH Buut, J Harsono dan JR Rorimpandey.
Waktu itu perundingan berjalan tegang dan memerlukan kesabaran serta pemahaman yang baik, sehingga menghasilkan persetujuan dan perusahaan berjanji akan membangun antara lain, gedung sekolah dasar (3 buah); rumah guru (3 buah); Poliklinik (3 buah), rumah model (3 buah untuk penduduk); gedung kantor satu buah untuk Pos Pemerintah di Tembagapura dan rumah pegawai serta dua buah bangunan pasar bagi warga Amungme di Tembagapura.
“Ada pun bangunan bagi pemerintah di Tembagapura sedangkan bangunan lainnya bagi warga di Kampung Waa Baru dan Beanagom di Lembah Tsinga.”
Sayangnya perjanjian ini realisasinya sangat lamban dan bangunan lain yang dibangun sekolah dan perumahan rakyat di Waa Baru dan Waa Lama tidak memenuhi syarat.
Hal ini membuat masyarakat merasa dibohongi. Timbullah gejolak sosial dan mencapai puncak pada peristiwa 1977 dan banyak warga Amungme dari Kampung Kwamki Lama di Kota Timika berlarian menyelamatkan diri.
“Kami lari dan tinggal di dekat Kota Tembagapura, “kenang Mama Theresi Pinimet Kemong kepada jubi di Timika. Bahkan mendiang Demianus Katagame bilang mereka berjalan selama tiga bulan dan tiba di tambang Ok Tedi di Papua New Guinea.
Terlepas dari pro dan kontra soal penambang di Gunung Ertsberg dan Grassberg, almarhum Moses Kilangin dalam bukunya menulis,”Ketika Freeport mulai menyiapkan pembukaan lokasi dengan berbagai peralatan, masyarakat Amungme yang tinggal di Waa dan Banti marah besar. Sebab gunung Grasberg atau Tenogoma dalam bahasa Amungme yang dalam bahasa Amungme disebut Nemangkawi diyakini sebagai tempat keramat atau tempat suci bagi suku Amungme.
“Tempat arwah nenek moyang kami berdiam. Di tempat suci itulah, kami biasanya datang berdoa dan berburu. Tapi tempat keramat itu mulai akan dibongkar oleh Freeport.” Kenang Moses Kilangin.
Kini gunung-gunung itu sudah berlubang dan disebut Danau Wilson untuk mengenang rekan Moses Kilangin saat ekspedisi pertama 1960, Forbes Wilson.
Tambang terbuka (open pit) di Grasberg sudah ditutup dan salah satu cadangan tambang bawah tanah yang besar milik PTFI ialah Grasberg Block Cave (GBC). Ini merupakan cadangan tambang persis di bawah open pit Grasberg.
Selain itu, ada blok Deep Mill Level Zone (DMLZ) yang sudah mulai dikembangkan sejak 2016 dan diproyeksikan baru akan selesai produksi pada 2040 mendatang. Ada pula cadangan tambang bawah tanah lain yang belum tergarap, yakni Kucing Liar yang baru akan mulai digarap pada 2024 dan memiliki masa produksi hingga 2053. Presiden Joko Widodo sendiri telah memberikan ijin penambangan selama 20 tahun sehingga perusahaan ini bisa beroperasi sampai 2061.(*)
Discussion about this post