Jayapura, Jubi – Terdakwa pelaku dugaan pelanggaran kejahatan Hak Asasi Manusia atau HAM berat di Papua yang masuk di pengadilan HAM sering divonis bebas. Hal itu dikatakan Komisi Nasional HAM Perwakilan Papua, Ridwan Herdika kepada Calon Reporter Jubi, saat menjadi pemateri di Sekolah Jujur Bicara Jalan SPG Taruna Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Senin (6/11/2023).
Ridwan Herdika dalam penjelasannya mengenai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Pengadilan HAM Makassar, mengatakan jaksa sering tidak mampu menghadirkan para saksi dalam persidangan itu, padahal kasus tersebut direkomendasikan Komnas HAM.
“Kalau Jaksa tidak mampu menghadirkan saksi-saksi bagaimana mau buktikan di persidangan?,” katanya.
Ia mengatakan saksi-saksi dan keluarga korban sebenarnya bersedia dihadirkan di Pengadilan HAM di Makassar tapi terkendala biaya yang cukup mahal untuk hadir dalam persidangan. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu faktor kurangnya bukti pelanggaran terhadap terdakwa dugaan pelaku pelanggaran HAM berat itu, sehingga hakim memvonis bebas atau tak bersalah.
“Jadinya divonis bebas pelaku dugaan pelanggaran HAM itu,” ujar Ridwan.
Ia memberikan dua contoh kasus terdakwa pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Paniai berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014 dan Peristiwa Abepura yang terjadi pada 7 Desember 2000 yang divonis bebas.
Ridwan mengatakan sesuai amanat UU Otonomi Khusus No 1 Tahun 2001 yang diperbaharui dalam UU Otsus No 2 Tahun 2021 yang memandatkan pembentukan pengadilan HAM di Papua, namun sampai sekarang belum juga terwujud. Walau para aktivis Papua terus berupaya untuk bisa ada Pengadilan HAM di Papua.
“Aktivis HAM di Papua (masih) terus berjuang untuk menghadirkan Pengadilan HAM di Papua,” katanya. (*)