Jayapura, Jubi – Sejumlah pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua menggelar demonstrasi di Balai Pelaksana Jalan Nasional Jayapura Kesatuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (17/7/2023). Mereka meminta diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan proyek di Papua.
Demonstrasi itu dimulai sekitar pukul 12.00 WP, dan berlangsung hingga pukul 13.26 WP. Para demonstran membentangkan spanduk bertuliskan “Bpk Presiden!!! Perpres No.17 Tahun 2019 diimplementasikan terbalik oleh pejabat nakal”. Spanduk yang dibawa para demonstran itu juga berisi desakan agar Presiden Jokowi mencopot Kepala Balai Jalan Jembatan dan Kepala Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi.
Para pengusaha menilai kedua pejabat itu tidak memiliki keberpihakan kepada pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua. Mereka menilai proyek konstruksi di Papua lebih banyak ditangani pengusaha non-Papua. “Kami datang mengambil hak kami,” kata koordinator aksi Wilhemus Sroyer dalam orasinya.
Para demonstrasi menyampaikan orasi di depan gerbang kantor balai. Demonstrasi itu dijaga ketat oleh polisi dan petugas keamanan balai.
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional atau BPJN Jayapura, Benyamin Elieser Pasurnay menyatakan tidak bisa menerima pernyataan sikap yang diserahkan para demonstran. “Saya tidak akan menerima apa pun dari bapak/ibu,” katanya.
Akan tetapi, Pasurnay menyatakan akan meneruskan aspirasi para demonstrasi kepada pimpinannya di Jakarta. “Aspirasi apa yang Bapak dong sampaikan sudah saya dengar, bahkan semua orang sudah dengar. Itu saya akan sampaikan secara lisan [kepada pimpinan di Jakarta],” ujar Pasurnay.
Koordinator aksi Koordinator aksi, Wilhemus Sroyer menyatakan Pasurnay pernah menjanjikan 15 paket proyek pengerjaan untuk pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua lewat e-katalog pada 2023.
Sroyer menyatakan semua persyaratan proyek sudah dikirim sesuai prosedur. Sroyer menyatakan 15 paket pengerjaan itu meliputi pengerjaan talud, saluran, oprit jembatan dan pengaspalan.
“Ketika 15 paket itu keluar kami ikut secara prosedur sesuai aturan yang dikeluarkan. Semua persyaratan dari e-katalog itu kami ikuti secara system e-katalog itu. Kami memasukkan dokumen secara online. Semua kami kirim dokumen secara online, dan waktu itu beliau sampaikan bahwa itu diperuntukkan untuk kontraktor asli Papua,” kata Sroyer kepada Jubi.
Namun, proyek itu akhirnya dikerjakan pengusaha non-Papua. Sroyer menyatakan sudah berusaha untuk menanyakan hal itu, tetapi kepala balai selalu menghindar untuk bertemu dengan pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua.
“Kami cek paket pengerjaan itu dikasih kepada orang non-Papua. Kami komunikasi dengan [kepala balai] dari Maret hingga bulan Mei, tetapi beliau selalu menghindar. [Padahal] kami sudah kirim dokumen mulai dari administrasi, dokumen teknis dengan dokumen peralatan kami masukan sesuai dengan prosedur. Semua persyaratan kami masukan,” ujarnya.
Sroyer juga mengeluhkan bahwa selama ini pengusaha jasa konstruksi Orang Asli Papua hanya mendapatkan proyek bernilai Rp200 juta hingga Rp300 juta. Sementara pengusaha jasa konstruksi non-Papua bisa memperoleh paket pengerjaan senilai Rp30 Miliar. “Itu sangat diskriminatif sekali,” katanya. (*)