Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua menyeru agar para pihak dalam konflik bersenjata di Papua, baik TNI, Polri, maupun kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB, untuk melindungi setiap warga sipil yang berada di wilayah konflik. Kewajiban para pihak yang bertikai untuk melindungi warga sipil itu sesuai prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay dalam keterangan pers tertulisnya pada Kamis (15/12/2022) mengatakan pihaknya melihat fakta bahwa konflik bersenjata antara TNI/Polri melawan TPNPB terus terjadi. Warga sipil pun kerap menjadi korban dalam konflik tersebut. Gobay menegaskan para pihak yang berkonflik memiliki kewajiban untuk mengedepankan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949, termasuk dengan memastikan warga sipil tidak turun menjadi korban.
Gobay menyatakan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk menerapkan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949 dalam konflik bersenjata di Papua.
“TNI/Polri dan pihak TPNPB dapat menjalankan kebijakan perlindungan bagi masyarakat sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata, sesuai dengan perintah Pasal 3 angka 1, Konvensi Jenewa 1949 agar dapat tercipta perlindungan Hak Asasi Manusia bagi masyarakat sipil asli Papua maupun non Papua dalam konflik bersenjata yang sedang terjadi di Papua,” ujarnya.
Gobay menyatakan berdasarkan data yang dihimpun LBH Papua menunjukan sejak 2018 sampai sekarang konflik bersenjata TNI/Polri melawan TPNPB terus terjadi, awalnya dari satu kabupaten terus merambah ke beberapa kabupaten dalam enam provinsi di Tanah Papua. Berbagai insiden dalam konflik bersenjata itu melahirkan banyak peristiwa yang memilukan kepada masyarakat sipil asli Papua maupun non Papua yang berada di wilayah konflik.
Gobay menyatakan pihaknya mencatat ada kasus pembunuhan atau penembakan yang dilakukan oleh TNI/Polri terhadap masyarakat Sipil orang asli Papua, dan juga kasus penembakan yang dilakukan TPNPB terhadap masyarakat sipil non asli Papua. Konflik bersenjata yang terjadi juga telah menimbulkan pengungsian warga sipil di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021), dan Kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).
Menurut Gobay, jika para pihak yang terlibat konflik bersenjata di Papua mengedepankan prinsip-prinsip dalam Konvensi Jenewa 1949, dampak konflik bagi warga sipil akan berkurang, karena Konvensi Jenewa 1949 menekankan perlindungan hukum bagi warga sipil di daerah konflik bersenjata. Hal itu diatur secara tegas dalam Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa 1949.
Terlepas dari itu, Gobay menyatakan Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengetahui akar persoalan Papua, termasuk persoalan sengketa status politik Papua dalam Indonesia, karena perumusan akar masalah itu telah dinyatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam laporan Papua Road Map. Seharusnya Pemerintah Indonesia memilih alternatif penyelesaian persoalan politik menggunakan pendekatan penyelesaian politik yang pernah dipraktikkan dalam penyelesaian konflik Aceh dan Timor-Timur.
Akan tetapi, Gobay menilai pemerintah pusat tidak mau menggunakan pengalaman penyelesaian persoalan politik kasus Aceh dan kasus Timor-Timor. Dalam kasus Papua, pemerintah pusat justru memilih pendekatan keamanan yang memicu terjadinya konflik bersenjata di Papua, dan pada akhirnya melahirkan kasus pelanggaran HAM dan pengungsian. Akibat turunannya, konflik bersenjata terus terjadi dan semakin meluas ke berbagai kabupaten di Tanah Papua. (*)
