Jayapura, Jubi – Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura (RSJD) mendorong kehadiran pusat rehabilitasi gangguan jiwa di Papua, guna mempercepat pemulihan korban penyalahgunaan narkotika dan minuman keras. Saat ini dua dari tiga pasien yang dirawat di RSJD Abepura merupakan pasien terpapar Narkoba dan Miras.
“Hari ini, sudah harus ada pusat rehabilitasi. Pasien dengan kecanduan miras, ganja yang sudah sembuh, memerlukan rehabilitasi psikososialnya termasuk memberikan keterampilan, sehingga ketika dia kembali ke masyarakat dia mampu. Di tempat lain di Indonesia sudah ada pusat rehabilitasi, tapi Papua belum punya sampai hari ini,” kata Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura, dr. Guy Yama Emma Come di ruang kerjanya, Kamis (13/10/2022).
Menurutnya, RSJD Abepura adalah muara dari kasus gangguan kesehatan mental di masyarakat. Saat orang sudah memiliki gangguan jiwa baru dibawa ke RSJD. Seperti fenomena gunung es, masih banyak Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yang membutuhkan penanganan khusus di pusat rehabilitasi.
“Dari tiga tahun lalu kita berjuang tetapi belum ada realisasi walaupun master plan [pusat rehabilitasi] sudah ada kita masih terkendala dengan pembiayaan pengadaan tanah,” katanya.

Sampai hari ini RSJD Abepura, rumah sakit milik pemerintah Provinsi Papua itu masih menjadi satu-satunya rumah sakit jiwa rujukan di seluruh tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Meski sudah berusia 23 tahun, Provinsi Papua Barat belum, memiliki RSJ sehingga RSJD Abepura menjadi satu-satunya pusat rujukan di Tanah Papua.
Berdiri pada 1952 atau pada masa kekuasaan pemerintahan Nederlandse New Guinea tepatnya di Holandia Binend (sekarang Kota Jayapura). Berdiri dengan nama “INRICHTING IRENE” yang artinya tempat aman untuk melakukan pelayanan bagi penderita penyakit jiwa, RSJD Abepura kini kewalahan menangani pasien.
Pada periode lima tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah pasien yang signifikan hingga membuat RSJD Abepura cukup kewalahan karena jumlah dokter di RSJD sangat terbatas. Rasio perbandingan dokter jiwa dan pasien di Papua masih di angka 1: 10.000.
“Setiap hari ada tiga sampai lima pasien ODGJ baru yang masuk rawat inap, [dengan usia] masih muda. [Pasien] Yang rawat jalan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) itu juga bertambah juga. Di waktu lalu kunjungan di rumah sakit jiwa setiap harinya dulu cuma 30 sampai 25, sekarang satu harinya kita bisa punya pasien 60 sampai 70 per hari, bayangkan. Kita melayani Papua dan Papua Barat,” kata Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSJD Abepura, dr. Izak Samay, SP KJ, Jumat (14/10/2022).
Di RSJD Abepura kisaran usia pasien antara 15 hingga 40 tahun. Dokter Samay menyampaikan kurangnya peluang bagi ODMK mendapatkan pelayanan kesehatan mental, mengakibatkan pasien tidak tertolong, karena tidak diberi rehabilitasi. Mereka kemudian menjadi ODGJ.
“Jadi masalah mental itu bukan hanya ODGJ, tetapi ada ODMK. Broken home, lingkungan sekolah yang bermasalah, termasuk akhir-akhir terjadi banyak kasus bunuh diri, anak dengan ketergantungan narkotika, itu banyak meningkat karena apa dimulai dari keluarga. Jadi masalah mental itu bukan semena-mena orang gangguan mental tidak, dia lebih luas lagi.”

Keadaan mental emosional yang tidak stabil, kemudian membuat seseorang jatuh pada fase ODGJ. Ini kemudian menjadi masalah besar untuk orang Papua.
“Rata-rata penyalahgunaan entah alkohol, narkotika jenis ganja pengguna Anak Papua atau Orang Papua asli. Bayangkan yang masih muda penyalahgunaan, usia produktif, terus kira-kira 25 tahun yang akan datang seperti apa generasi Papua.”
Untuk memulihkan generasi muda Papua pemerintah daerah perlu menyiapkan sarana prasarana untuk rehabilitasi pasca pengobatan. Hal itu masih menjadi Pekerjaan Rumah bagi Orang Papua dan Tanah Papua.
“Apa yang kita kumandangkan tentang Papua, tentang generasi emas Papua, generasi berlian Papua itu, seharusnya dimulai dari mental health. Jadi kalau mental health tidak dibangun dengan baik jangan pernah bermimpi punya generasi emas Papua,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!