Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyatakan para bupati harus menjadi pihak terdepan dalam penyelesaian konflik di Papua. Untuk itu pemerintah tidak boleh menaruh curiga terhadap para bupati di Papua yang membangun komunikasi dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
“Jadi [konflik di Papua] itu terus berkepanjangan. Komnas HAM terus mengusulkan berulang kali, bupati [harus] menjadi pihak terdepan [untuk] menyelesaikan konflik di Papua,” kata Ramandey kepada wartawan di Kota Jayapura, pada Kamis (17/11/2022).
Ramandey menyatakan sudah terlalu lama konflik terus dibiarkan terjadi di Papua. Oleh karena itu, Ramandey menyampaikan bupati bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten setempat harus mulai membangun komunikasi dengan pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), untuk mencari solusi atas konflik di Papua.
“Kami menyerukan kepada bupati, seluruh rangkain kekerasan yang terjadi di Papua hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan kearifan lokal. Itu ada di siapa? Ada di bupati. [Model pendekatan seperti itu] tidak ada di TNI, tidak ada di polisi. Mereka [bupati dan DPR] harus menjadi pihak terdepan untuk berkomunikasi dengan TPNPB,” ujarnya.
Ramandey menyatakan penyelesaian kekerasan di Papua tidak bisa diserahkan kepada pihak TNI atau Polri. Sebab, pelibatan TNI/Polri dalam berbagai hal di Papua kerap memunculkan kasus kekerasan.
“Kita punya pengalaman, ketika ada pelibatan TNI/Polri, pasti [yang terjadi justru] saling menyerang antara aparat keamanan dan TPNPB. [Dalam situasi seperti] itu, nyaris kepala daerah tidak [dapat] berinisiatif,” katanya.
Ramandey mencontohkan dulu konflik bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya sangat kerap terjadi. Akan tetapi, Bupati Puncak Jaya memilih melakukan penyelesaian konflik di daerahnya melalui pendekatan kearifan, melalui komunikasi dengan pihak TPNPB.
“Belajar dari Puncak Jaya. Dulu, Puncak Jaya sadisnya luar biasa. Tapi ada satu pendekatan kearifan di atas. Jadi, orang masih bicara dengan kelompok yang menenteng senjata, bupati bicara dengan mereka. Itu harus bisa dibangun oleh otoritas sipil yang ada di wilayah itu. Karena itu, Badan Intelijen Negara tidak boleh mencurigai para bupati [yang] bertemu dengan mereka [TPNPB],” ujar Ramandey.
Ramandey menegaskan bahwa dialog harus menjadi momentum bersama seluruh pemangku kepentingan untuk menyelesaikan konflik di Papua. Ia menyatakan semua pihak, terutama TPNPB, harus bersedia berdialog. Ramandey menyatakan langkah menutup diri tidak akan menyelesaikan soal di Papua.
“Ingat, Indonesia itu negara merdeka. Dalam semua mekanisme masalah internasional, [masyarakat] internasional [harus] menghormati [kedaulatan] yuridis wilayah hukum negara Indonesia. Karena itu, [mari] memulai [penyelesaian masalah Papua] dengan mekanisme nasional. Kalau mekanisme nasional mengalami kebuntuan, baru menggunakan mekanisme internasional. Apakah [masyarakat] internasional bisa intervensi? Bisa, tetapi dia tidak akan mengintervensi hal-hal yang bersifat global, tidak bisa. Dia mengintervensi hal yang bersifat kasuistik, soal pendidikan, lingkungan, kekerasan. Dia intervensi tema khusus di dalam mekanisme Dewan HAM PBB, mekanisme intervensi bisa. Apa temanya, mengirim pengamat khusus [tema itu],” katanya. (*)