Jayapura, Jubi – Koordinator Litigasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, Emanuel Gobay menyatakan sedikitnya ada lima kejahatan berbeda yang dilakukan para pelaku pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika. Hal itu dinyatakan Gobay dalam keterangan pers di Kota Jayapura, Senin (12/9/2022).
Pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Permukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Keempat korban itu adalah Arnold Lokbere, Lemaniol Nirigi, Irian Nirigi, dan Atis Tini.
Gobay menyebut lima kejahatan berbeda itu ditemukan dalam paparan kronologi versi aparat penegak hukum, maupun dari hasil investigasi Koalisi yang terdiri dari LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, ELSHAM Papua, PBH Cenderawasih, LBH Kyadayun Biak, dan LBH Kaki Abu Sorong itu. Menurut Gobay, kelima kejahatan yang berbeda itu bermula sejak para pelaku merencanakan pembunuhan tersebut, hingga akhirnya pelaku memutilasi dan membuang jenazah korban.
“Ada jual-beli senjata antara oknum TNI dan warga sipil. Oknum aparat diduga menembak mati korban. Ada perencanaan pembunuhan. Ada mutilasi tubuh. Kasus itu juga termasuk kategori pembunuhan di luar hukum, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Hal itu telah disampaikan saat Komnas HAM Perwakilan Papua mengumumkan hasil investigasinya,”kata Gobay.
Menurut Gobay, percobaan transaksi senjata, sebagaimana yang dinyatakan penyidik kasus itu, merupakan bentuk kejahatan mencoba menyerahkan atau memindahtangankan senjata api. Perbuatan itu digolongkan sebagai kejahatan oleh Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Gobay menyatakan sejumlah prajurit Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo diduga terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi itu. Mereka diduga menggunakan senjata api untuk menembak para korban, dan perbuatan itu digolongkan sebagai kejahatan oleh Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
“Ada jual-beli senjata api, maka pelaku dikenakan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Lalu penyalahgunaan dalam penggunaan senjata api,” kata Gobay.
Gobay menyatakan rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi itu menunjukkan bahwa delapan Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo dan empat warga sipil merencanakan pembunuhan itu. “Mereka melanggar Pasal 340 KUHP, dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. Perbuatan itu diancam pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, penjara paling lama 20 tahun,” katanya.
Keempat, demikian menurut Gobay, pembunuhan dan mutilasi empat warga Kabupaten Nduga yang diduga dilakukan oleh aparat TNI itu telah memenuhi unsur pembunuhan di luar hukum, atau unlawfull killing. Kelima, pembunuhan dan mutilasi di Mimika itu juga memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena melibatkan dua orang perwira dan bawahannya, para prajurit Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo.
Gobay ada komando dari perwira kepada bawahannya karena ada tersangka yang berpangkat mayor, kapten, sersan, dan prajurit. “Itu bagian dari pelanggaran HAM berat. Karena ada lebih dari satu orang TNI, jelas ada komandonya. [Unsur] kejahatan kemanusiaan sudah terpenuhi,” katanya.
Gobay menyatakan penyidikan kasus itu seharusnya berupaya mengungkapkan dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut. Gobay juga menggarisbawahi bahwa berbagai kejahatan itu diduga dilakukan prajurit TNI Bersama-sama warga sipil, sehingga semua tersangka, termasuk para prajurit TNI, harus diadili dalam peradilan umum atau Pengadilan HAM.
Gobay mengkritik banyak kasus kekerasan oleh prajurit TNI diadili di peradilan militer. Pemidanaan pelaku melalui peradilan militer dinilai Gobay gagal menimbulkan efek jera bagi para pelaku, sehingga kasus kekerasan oleh prajurit TNI terus berulang. “Dengan disidangkan di peradilan militer, tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Dengan begitu, Negera [justru] memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan hal serupa,” katanya.
Gobay mendorong Komnas HAM Perwakilan Papua terus mengawal proses hukum dalam kasus itu. “Kami meminta Komnas HAM Perwakilan Papua agar jangan berhenti pada pengungkapan pelaku, tetapi harus bisa mengawal hingga dapat memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban,” katanya. (*)