Jayapura, Jubi – Seorang lelaki muda bernama Pranto Wanimbo (18) asal Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan merespon Paskah dalam Ibadah Jumat Agung dengan cara yang unik. Ia menggunakan busana adat suku Lani, Papua Pegunungan sebagai bentuk menghargai jati diri.
Prantopun menghargai perayaan Paskah dengan mengenakan Koteka, busana adat wilayah Lapago. Ia memakai koteka dengan mengoleskan tanah liat di beberapa bagian tubuhnya, lalu menutup kepalanya dengan noken ukuran kecil yang dirajut dari akar atau kulit kayu buatan mama mama papua berwarna kecoklatan saat mengikuti ibadah Jumat Agung, di Gereja Baptis Yame Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Jumat (29/3/2024).
Penampilan Pranto dengan dengan busana adat membuat dirinya menjadi sorotan dan menarik perhatian jemaat, pemuda dan gembala setempat. Sebab pada lazimnya busana adat digunakan dalam moment tertentu seperti acara kampanye politik, acara adat, dan lainnya sebagainya, tetapi merayakan Paskah dengan berbusa adat adalah hal baru.
Pranto alias Eko Walo sapaan akrabnya mengatakan dirinya merefleksikan peristiwa Jumat Agung dan Paskah sebagai peristiwa pembebasan umat manusia dari penjajahan dosa melalui penderitaan, penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus.
“Saya sudah berpakaian untuk pergi ibadah, tapi saya terharu dan sempat menangis karena menyadari bahwa pengorbanan Yesus itu semata bukan karena manusia baik, tapi karena manusia berdosa. Jadi saya berpakaian adat ini untuk mengekspresikan Yesus mati untuk saya dalam keadaan yang seperti ini,” katanya usai ibadah Jumat Agung.
Ingin jadi diri sendiri dan menghargai jati diri dan identitas sebagai orang yang berbudaya tanpa berusaha menjadi orang lain kata Pranto. Ia mengatakan sebenarnya secara tidak langsung dengan berbusana adat itu, memberi pesan kepada muda mudi bahwa budaya itu penting sebagai jati diri dan identitas.
“Budaya itu penting sebagai jati diri atau identitas yang menunjukkan siapa diri kita. Saya harap meski kita ada di kota sekalipun, jangan kita lupa dengan budaya kita. Kalau kita lupa dengan budaya dan identitas, kita tidak punya dasar yang kuat untuk mengaku saya orang Lani atau orang Papua,” kata Pranto yang masih menjadi pelajar di SMA Yapis Waena, kelas XII dan baru mengikuti ujiannya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Gembala Gereja Baptis Yame, Pdt. Derius Kogoya S.Th, MA, SBN mengatakan ketika melihat anggota jemaatnya yang berbusana adat tersebut, sebenarnya memberikan banyak makna dan pesan positif. Ia mengapresiasi keberanianya dan menilai bahwa tindakan anggota jemaatnya itu menggabungkan kehidupan sebelum Yesus mati dan sesudah mati yang berdampak pada kehidupan umat Nasrani sampai kini.
“Saya terharu dengan anak Pranto, karena yang dia bikin itu bagian dari semangat perayaan Paskah dan mewakili kehidupan manusia sebelum Yesus mati dan sesudah mati. Jadi dia memberikan pesan yang baik bagi kita untuk merefleksikan Paskah ini dengan menjadi diri sendiri,” kata Pdt Derius Kogoya.
Ketua Pemuda Wilayah Baptis Tabi, Wilson Wenda merasa bangga dan mengatakan dalam moment Paskah itu, Pranto memiliki jiwa yang arif, berbudi luhur dan menjadi pribadi yang sadar akan siapa dirinya. Menurutnya, Pranto ingin merespon Paskah atau kematian Yesus Kristus sebagai orang Lani. Ia menilai ketika datang berbusana adat itu menunjukkan bahwa dia menghargai jati diri dan identitas orang Lani secara umum.
“Yesus sebenarnya menghargai suku- suku bangsa-bangsa, budaya-budaya, bahasa-bahasa dan setiap manusia yang berkembang dimuka bumi yang datang dengan keadaan aslinya, Yesus menyukai orang datang dengan keaslian sebagai manusia yang berbudaya, bermoral, dan benar-benar menghargai ciptaan,” ujar Wilson. (*)
Discussion about this post