Jayapura, Jubi – Majelis hakim yang diketuai Wempy William James Duka, SH, MH bersama hakim anggota Korneles Waroi, SH dan Roberto Naibaho, SH menjatuhkan vonis bagi dua mahasiswa Universitas Cenderawasih kurungan penjara selama lima bulan 10 hari.
Hal itu memang lebih ringan dari tuntutan jaksa yang memberikan hukuman sembilan bulan terhadap kedua terdakwa dalam kasus aksi demonstrasi di gapura Uncen pada 16 November 2022, sehingga Gerson Pigai dan Kamus Bayage ditangkap karena dianggap menghasut sehingga terjadi keributan saat aksi.
Dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (17/4/2023) itu, baik penasehat hukum maupun kedua terdakwa merasa kecewa atas vonis majelis hakim tersebut, meskipun lima bulan sepuluh hari yang diputuskan memang dipotong masa tahanan selama ini, sehingga Gerson Pigai dan Kamus Bayage hanya akan menjalani delapan hari penjara karena telah dikurung selama lima bulan dua hari.
Tim penasehat hukum kedua terdakwa dari Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, Emanuel Gobay, mengatakan jika hakim memvonis kliennya itu sesuai dakwaan pertama yaitu pasal 160 Jo 55 KUHP.
Namun putusan hakim itu dinilai tidak sesuai atas fakta-fakta yang ada dalam persidangan selama ini, dimana majelis hakim hanya melihat dan menyimpulkan secara subjektif tanpa mempertimbangkan berbagai alat bukti yang dihadirkan.
“Atas vonis tersebut kami menyampaikan keberatan. Pertama, majelis hakim tidak mengambil fakta-fakta persidangan, sehingga kami menyimpulkan keputusan secara subjektif karena klien kami sudah menunjukkan bukti surat pemberitahuan untuk aksi 16 November 2022 di depan gapura Uncen, namun surat pemberitahuan yang kita hadirkan sebagai alat bukti itu tidak dilihat,” kata Gobay usai sidang.
Berikutnya, kata Gobay, ahli pidana yang dihadirkan jaksa dengan tegas menyampaikan bahwa apabila aksi demonstrasi yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, maka tidak bisa dipidana.
Namun majelis hakim tidak melihat fakta itu, kemudian muncul kekhawatiran dan kecurigaan dari penasehat hukum adanya dugaan intervensi terhadap majelis hakim, berkaitan dengan fakta pembungkaman ruang demokrasi yang sudah sering dilakukan dengan dalil izin.
“Padahal dalam aksi 16 November 2022 itu sudah ada ada surat pemberitahuan yang dibawa ke kantor Polresta Jayapura, sehingga hal ini yang membuat kami kesal, seakan-akan persidangan ini membenarkan alibi jika aparat kepolisian yang selama ini mengartikan pemberitahuan menjadi izin,” katanya.
Untuk itu tim Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua berharap kepada Komisi Yudisial untuk dapat melihat perkara Gerson Pigai dan Kamus Bayage ini, kaitannya dalam profesionalisme hakim dalam memeriksa suatu perkara.
“Karena hakim tidak mengambil keterangan yang ada dalam fakta persidangan, namun mengambil keterangan lain yang secara subjektif sehingga membuat kabur persoalan ini dan seakan-akan membenarkan alibi polisi yang mengartikan pemberitahuan menjadi izin. Atas dasar itu kita akan pikir-pikir untuk melakukan upaya hukum selanjutnya atas vonis yang dijatuhkan,” kata Gobay.
Kekecewaan juga disampaikan Kamus Bayage dan Gerson Pigai atas vonis itu. Dimana, majelis hakim dinilai tidak profesional dalam menjatuhkan putusan.
“Dalam persidangan yang sudah kami lewati semuanya, kami kira hakim catat dengan betul, karena kami sudah tahu bahwa tidak terbukti dalam penahanan saya bersama Gerson Pigai. Tetapi tadi dalam putusan vonis, hakim jelaskan yang lain-lain, sehingga itu sangat tidak profesional,” kata Kamus Bayage.
Untuk itu ia melihat jika selama ini jika hukum adalah sebagai roh negara ini, tetapi jika tidak ada profesionalisme maka hakekatnya akan mati. Dimana selalu ruang demokrasi dibungkam, walaupun di kampus itu sendiri.
“Ini membuktikan jika hakim juga sedang memilihara pembungkaman ruang demokrasi di kampus, bekerjasama dengan Kapolda Papua untuk membungkam ekspresi bagi mahasiswa,” kata Gerson Pigai.
Bahkan, kata Pigai, sementara otonomi kampus menjamin tetapi pada faktanya polisi masuk kampus kemudian mahasiswa ingin berdiskusi, belajar, dan mimbar bebas masih sangat susah, ini membuktikan bahwa negara sedang mempraktekan yang namanya otoriter dan militeristik.
“Juga sedang mempraktekan yang namanya daerah operasi militer di kampus, sehingga Kapolda Papua segera hentikan operasi militer dalam kampus. Ke depan juga hakim dalam memutuskan segala sesuatu harus bijak, profesional karena seakan-akan membenarkan polisi sementara yang menjadi aktor kekerasan dalam lingkungan kampus itu sendiri adalah polisi,” kata Pigai. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!