Jayapura, Jubi โ Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, mengatakan proses penyelesaian kasus “Paniai Berdarah” banyak mengabaikan aturan hukum.
“Dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 1 Tahun 2021 yang sekarang sudah berubah menjadi UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, dalam pasal 45-47 mengatur tentang HAM dan merekomendasikan pengadilan HAM. Semenjak Otsus bergulir di Tanah Papua, pemerintah tidak membuat pengadilan HAM di Papua,” katanya, kepada wartawan mewakili sejumlah LSM, organisasi sipil dan aktivis di Papua, dalam acara jumpa pers yang digelar di Kantor LBH Papua, Minggu (14/8/2022).
Gobay berpendapat bahwa persidangan kasus-kasus di atas tahun 2000 seperti Wamena Berdarah dan salah satunya Paniai Berdarah, dapat diselesaikan di pengadilan HAM di Papua.
“Karena untuk kasus pelanggaran HAM di bawah tahun 2000 seperti Tanjung Priuk, Timor Leste, dan Abepura Berdarah itu sudah dilaksanakan. Sehingga khusus untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti Paniai Berdarah ini bisa diselesaikan di Papua, dengan pengadilan HAM di Papua,” katanya.
Menurutnya kalau pemerintah konsisten selama 20 tahun implementasi Otsus Papua, atau karena pasal tentang pengadilan HAM sudah termuat dalam UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, maka seharusnya dapat dibentuk pengadilan HAM di Papua.
“Itupun kalau pemerintah memaksimalkan amanat UU Otsus itu dengan baik, maka kasus Paniai Berdarah bisa diselesaikan di Papua dengan pengadilan HAM,” katanya.
Ia mengkhawatirkan bahwa apabila sidang digelar di Makassar, tentunya keluarga korban dan saksi tidak akan menghadiri proses persidangan tersebut.
“Karena alasan mereka, tempat persidangan jauh, tidak ada yang melindungi saksi hidup dan keluarga korban, selain itu juga terkait dengan pelaku penembakan empat orang pelajar, pembunuhan [tersebut] ditetapkan Kejaksaan Agung hanya satu orang pensiunan perwira, sementara yang melakukan penembakan itu jumlahnya banyak,” katanya.
Selain itu, Gobay juga mempertanyakan kinerja dari Komnas HAM RI dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung RI terkait dengan pelaku penembakan empat pelajar di Kabupaten Paniai, kenapa hanya satu orang.
“Kami mau pertanyakan hasil investigasi Komnas HAM RI Perwakilan Papua, banyak pelaku tetapi kenapa yang diadili hanya satu pelaku, Kejaksaan Agung hingga kini hanya menetapkan IS, seorang pensiunan perwira penghubung sebagai tersangka tunggal dalam tragedi Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014, ada apa sebenarnya?” katanya.
Sekretaris Bersatu untuk Kebenaran Papua (BUK Papua), Nehemia Yarinap mengatakan sejak awal pihaknya sangat pesimis dengan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di Paniai.
“Kasus Paniai akan sama seperti proses penyelesaian kasus Abepura Berdarah, di mana para pelaku pelanggaran HAM divonis bebas,” katanya.
Yarinap mengatakan proses pengungkapan pelaku sering kali ditunda-tunda oleh Kejaksaan Agung, dan selalu ada penguluran waktu penetapan tersangka. Diduga pula, ada penghilangan barang-barang bukti agar pelaku tidak dapat dijerat hukum sesuai perbuatannya.
“Karena sejak tahun 2014-2022, kemudian Kejaksaan Agung menetapkan satu orang pelaku pensiunan perwira tentara. Sementara pelaku lainnya dikemanakan? Jangan jadikan kasus pelanggaran HAM berat ini sebagai bahan pencitraan negara Indonesia di panggung-panggung internasional, karena ini murni pelanggaran HAM serius,” tegasnya.
Ia juga meminta Kejaksaan Agung agar dapat meninjau kembali putusan atas pelaku, atau penetapan pelaku penembakan empat pelajar dan korban luka-luka lainnya, harus diumumkan sesuai dengan hasil investigasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM RI.
“Kami menduga bahwa dalam pengungkapan pelaku ini, ada intervensi dari pihak-pihak terkait. Sebab dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Komnas HAM sudah menetapkan pelaku dan sudah diserahkan kepada Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung,” katanya. (*)