Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia dan pendamping keluarga korban tragedi Paniai Berdarah, Yones Douw mengatakan keluarga korban tidak akan menghadiri sidang kasus itu yang akan berlangsung di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar pada Agustus. Hal itu dinyatakan Douw saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Senin (25/7/2022).
“Keluarga korban sudah mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak akan menghadiri proses persidangan. Sebab, Kejaksaan Agung tidak membawa pelaku yang membunuh empat pelajar dan melukai para korban lainnya ke pengadilan,” kata Douw.
Douw mengatakan Kejaksaan Agung hingga kini hanya menetapkan IS, seorang pensiunan perwira penghubung, sebagai tersangka tunggal dalam tragedi Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014. “Keluarga mau [Kejaksaan Agung] menghadirkan pelaku, [yaitu anggota] Brimob, tentara, dan petinggi-petingginya yang saat itu memimpin serta terlibat penembakan dan pemukulan terhadap warga sipil di Kabupaten Paniai,” kata Douw.
Ia mengatakan pihak keluarga korban tidak menolak proses persidangan yang akan berlangsung di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Makassar. Akan tetapi, keluarga korban meyakini jumlah pelaku dalam tragedi itu lebih dari lima orang, dan berkeras agar jumlah tersangka dalam kasus itu ditambah.
“Jangan satu orang yang dijadikan tersangka. Kalau bisa, Kejaksaan Agung menetapkan lebih dari lima orang. Kalau [sudah ada] lebih dari lima [tersangka], baru keluarga bisa hadir, membawa saksi, atau meminta sidang. Kalau [jumlah tersangka] kurang [dari lima orang], keluarga meminta untuk ditambah,” katanya.
Douw mengatakan penembakan dan penganiayaan warga sipil dalam tragedi Paniai Berdarah itu melibatkan berbagai kesatuan Polri maupun TNI. Ia menyatakan para pejabat Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cenderawasih, maupun para komandan kesatuan yang terlibat harus dibawa ke pengadilan, karena penembakan maupun penganiayaan warga sipil itu terjadi setelah ada perintah dari atasan.
“Keluarga korban tahu itu. Kalau pelakunya [prajurit] Koramil atau [polisi] Polsek [setempat], mereka tahu karakter masyarakat Paniai. Mereka sudah tahu karena mereka itu sejak muda mereka tugas di pedalaman,” kata Douw.
Menurut Douw, seharusnya Kejaksaan Agung menetapkan para komandan teritorial maupun komandan empat kesatuan yang terlibat sebagai tersangka dan dibawa ke Pengadilan HAM Makassar. “Karena dari empat kesatuan, mereka lakukan eksekusi di lapangan. Jadi, sampai detik ini keluarga tidak menolak Pengadilan HAM, tetapi keluarga tidak menerima karena pelakunya yang diadili hanya satu orang,” katanya.
Douw mengingatkan bahwa tragedi Paniai Berdarah sudah ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Douw, tidak mungkin hanya ada seorang tersangka pelanggaran HAM berat, dan tidak mungkin menggelar sidang kasus pelanggaran HAM berat tanpa menetapkan pejabat satuan teritorial saat peristiwa terjadi, termasuk Kepala Polda Papua, Kepala Kepolisian Resor Paniai, maupun Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, sebagai tersangkanya.
“Keluarga tahu bahwa Pemerintah Indonesia melalui kasus Panian juga cari nama baik di mata dunia, termasuk Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keluarga menolak, karena [dalam] proses persidangan kasus pelanggaran HAM Paniai Berdarah, Negara Indonesia terkesan sedang mencari nama baik di panggung internasional, [namun] mengabaikan atau melindungi pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua,” kata Douw. (*)
Discussion about this post