Waropen, Jayapura – Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Tilas Mom mengatakan pemerintah dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) bertanggung jawab atas warga sipil di Tanah Papua, yang menjadi korban konflik bersenjata akibat konflik kedua pihak.
Menurutnya, warga sipil korban konflik tidak hanya penduduk asli di daerah konflik, atau warga asli Papua dari daerah lain. Akan tetapi ada juga warga sipil dari luar Papua.
“Pemerintah dan TPNPB bertanggung jawab terhadap korban konflik di Papua. Baik korban dari warga asli Papua mau pun warga dari luar Papua,” kata Tilas Mom kepada Jubi di Waropen, Selasa (19/07/2022).
Katanya, yang terlibat konflik bersenjata dengan TPNPB memang aparat TNI/Polri. Akan tetapi mereka hanya melaksanakan tugas atau perintah dari pimpinan di atasnya.
Selain itu, selama ini pemerintah melalui aparat keamanan, tidak bisa memberikan jaminan keamanan kepada warga di wilayah konflik.
Tidak hanya warga setempat, atau warga asli Papua dari daerah lain yang ada di wilayah konflik, juga warga sipil dari luar Papua yang berada di sana.
“Konflik di beberapa daerah seperti Nduga dan Intan Jaya, membuat banyak warga setempat mengungsi ke daerah lain yang dianggap aman,” ujarnya.
Tilas Mom mengatakan, warga dari wilayah konflik yang mengungsi ke daerah lain, sebenarnya rindu kembali ke kampungnya. Akan tetapi mereka khawatir belum ada jaminan keamanan dari pemerintah.
Katanya, keinginan itu disampaikan warga saat ia berkunjung ke sejumlah daerah konflik.
Sebab, sebagai ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Tilas Mom selalu berkunjung ke wilayah pelayanan Sinodenya di 13 koordinator dan 90 klasis se-Tanah Papua.
“Nduga termasuk wilayah pelayanan kami. Belum lama ini saya ke sana mengikuti sidang klasis. Masyarakat menyampaikan kepada saya, mereka rindu kembali ke kampung,” ucapnya.
Akan tetapi lanjut Mom, warga menyatakan masih khawatir kembali ke kampungnya karena di sana tidak ada jaminan keamanan, dan masih ada aparat keamanan.
Keberadaan aparat keamanan di wilayah konflik menyebabkan warga khawatir, sewaktu-waktu akan terjadi kontak senjata dengan TPNPB, dan mereka bisa menjadi korban.
“Mereka (warga Nduga) takut, sehingga kembali ke Wamena, dan saya lihat gereja- gereja di (Nduga) sudah dipakai aparat keamanan (sebagai pos),” katanya.
Tilas Mom mengatakan, selama ini aparat keamanan selalu curiga terhadap warga asli Papua di daerah konflik. Mereka tak jarang dituduh bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Masyarakat ke hutan ditembak, disangka OPM. Masyarakat (umat) saya di (Nduga) tidak bisa kembali ke kampungnya, sebelum kelompok Egianus Kogoya dan TNI/Polri membuat surat pernyataan kepada saya,” ucapnya.
Ia ingin kedua pihak yang terlibat konflik menjamin keamanan umat Kingmi dan warga lainnya di Nduga, sebelum mereka kembali ke kampungnya.
Apalagi, umat Kingmi di Nduga telah menyatakan sikap agar bupati menyampaikan kepada para pihak terkait, agar aparat keamanan ditarik ditarik dari Nduga.
Mereka juga menolak pemekaran. Sebab, apabila kebijakan itu terus dilanjutkan, TPNPB-OPM menyatakan akan terus melakukan perlawanan.
“Begitu juga yang disampaikan masyarakat di Intan Jaya. Mereka merasa, aman tanpa adanya aparat keamanan. Jangan terus menambah aparat keamanan, ke daerah konflik. Pemerintah mesti melihat kebijakan ini. Selama ini, kami anggap kami bagian dari Negara Indonesia, tapi ternyata kami dilihat sebelah mata,” kata Tilas Mom. (*)
Discussion about this post