Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Papua Nugini James Marape menegaskan bahwa perjanjian kerja sama pertahanan antara Papua Nugini dan Amerika Serikat tidak akan melanggar konstitusi Papua Nugini. Ia menyatakan perjanjian kerja sama pertahanan yang akan ditandatangani pada Senin (22/5/2023) akan menguntungkan Papua Nugini.
“Ada beberapa [kekhawatiran] atas usulan perjanjian kerja sama pertahanan dan perjanjian pengendara kapal. Saya ingin meyakinkan warga kami, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Marape sebagaimana dilansir The National.
“Papua Nugini dan Amerika Serikat, Papua Nugini dan Australia, Papua Nugini dan Selandia Baru, Papua Nugini dan Inggris, [masing-masing] memiliki aspek khusus dari hubungan pertahanan dan kerja sama pertahanan. [Namun] semuanya dalam lingkup konstitusi nasional kita,” kata Marape.
Marape mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari proposal kerja sama yang akan ditandatangani Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken pada Senin. Marape sendiri sedang berbicara dengan para wartawan pada Kamis (18/5/2023), ketika Presiden AS, Joe Biden menelepon untuk meminta maaf karena membatalkan kunjungannya ke Port Moresby, Ibu Kota Papua Nugini. Biden batal mengunjungi Port Moresby karena harus menangani urusan mendadak di Washington DC, Ibu Kota AS.
Tanggal 22 Mei 2023 telah dinyatakan sebagai hari libur bagi penduduk Port Moresby. Marape mengatakan Konferensi Tingkat Tinggi AS – Pasifik dan Forum untuk Kerjasama Kepulauan Pasifik India (FIPIC) akan berjalan sesuai jadwal.
Mantan Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O’Neill pekan ini mengimbau masyarakat untuk menyambut para pemimpin yang akan berada di Port Moresby untuk KTT AS – Pasifik maupun FIPIC. O’Neill juga menyuarakan keprihatinan atas rencana perjanjian kerja sama pertahanan Papua Nugini dan AS.
O’Neill menyatakan Papua Nugini adalah negara anggota Gerakan Non Blok yang memiliki pedoman perjanjian dengan negara adidaya. “Sangat memprihatinkan bahwa kita harus memiliki pilihan bagaimana kita membentuk kebijakan luar negeri [Papua Nugini],” katanya.
“Memiliki perjanjian pertahanan memberikan akses [kepada AS]. Meskipun mereka [AS juga] berbicara tentang perubahan iklim dan masalah lainnya, banyak dari pengaturan tersebut difokuskan kepada pengaturan militer yang memberikan akses [militer AS] ke pelabuhan kami, bandara [kami]. Kapal dan pesawat angkatan laut mereka akan memiliki akses tak terbatas ke fasilitas militer kami seperti Lombrum, Nadzab, dan Port Moresby,” kata O’Neill.
Menurut sumber The National, AS diperkirakan akan menginvestasikan miliaran dolar AS untuk membangun infrastruktur di Manus dan Lae yang masih akan dimiliki oleh Pemerintah Papua Nugini.
Marape menyatakan perjanjian yang akan ditandatangani pada Senin berada dalam lingkup Visiting Force Act 1975 yang memungkinkan Papua Nugini untuk memiliki perjanjian khusus dengan pasukan lain yang dapat kami hubungkan dan berbisnis.
“AS telah beroperasi dengan Status of Force Agreement (SOFA). Sekarang kami mengangkatnya ke Perjanjian Kerja Sama Pertahanan. Terserah kita untuk memperbaharui atau mengakhiri [perjanjian itu] setelah 15 tahun,” kata Marape.
Ia menilai sejumlah pihak yang menentang rencana kerja sama pertahanan Papua Nugini dan AS lantaran tidak memahami isi perjanjian itu. “Kebanyakan komentar adalah komentar yang kurang informasi. Dokumen itu akan transparan. Perjanjian ini tidak melanggar konstitusi kita,” kata Marape. Marape juga menjamin perjanjian kerja sama dengan AS itu tidak akan menghalangi Papua Nugini untuk membuat perjanjian lain dengan negara yang lain. (*)