Oleh: Thomas Ch Syufi*
Rakyat Papua Papua masih dirundung duka atas meninggalnya, Lukas Enembe (56), mantan Gubernur Papua periode 2013-2023 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, 26 Desember 2023, karena sakit. Dia dimakamkan di kediamannya di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Jumat (29/12/2023).
Namun, kepergiaan Lukas tidak hanya meninggalkan tangisan dan duka yang mendalam, tetapi juga meninggalkan sejumlah warisan penting dalam karya pembangunannya di Papua, seperti program Prospek, kartu Papua sehat, beasiswa dalam dan luar negeri, pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat miskin, penguatan ekonomi rakyat, membangun kantor gubernur Papua, kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), dan melaksanakan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua, dengan membangun sejumlah fasilitas stadion di Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Mimika.
Selain itu, tanpa kaku dan takut ia secara terbuka menyatakan kebenaran situasi penderitaan dan ketidakadilan yang dialami orang Papua kepada pemerintah pusat, yang kesemuannya menjadi memori kolektif bagi masyarakat Papua kelak. Meninggalnya putra terbaik Papua asal Pegunungan Tengah pertama menjadi Gubernur Papua itu, terasa seperti ombak bergulung–kesedihan satu belum usai, datang lagi kesedihan baru atas berbagai tragedi kemanusiaan di Tanah Papua.
Memang tragedi secara konsisten terus menyapa orang Papua, datang pergi silih bergantian–sama hal kehilangan seorang tokoh kaliber Papua, bapak pembangunan Papua Lukas Enembe.
Enembe adalah seorang politisi, gubernur, dan pemimpin Papua yang karismatik, visioner, jujur, dan berani dalam keberpihakannya kepada orang asli Papua. Ia merupakan politisi modern dengan gaya kepemimpinan tradisional, sebagai magnet yang dapat menyatukan sekaligus mencerminkan kepribadian dan jati diri orang Papua sesungguhnya. Hingga ia mudah diterima dan disukai oleh orang Papua pada umumnya, kecuali segelintir rival politiknya, kelompok oportunis, pendengki, dan kaum yang merasa diri kasta paling superior di negeri ini.
Kecintaan orang Papua terhadap Lukas Enembe karena berbagai terobosan pembangunan di segala bidang. Dan keberaniannya secara terbuka menentang bentuk ketidakadilan yang dapat menyenggol kepentingan harkat dan martabat orang Papua, seperti stigma kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan (primitif), perbudakan, dan isu rasialisme yang kerap ditempelkan kepada orang Papua.
Bentuk perlawanan Lukas bukan dengan kekerasan fisik berupa senjata maupun bom, tetapi ia menjawab semua anggapan itu dengan cara-cara damai dan terhormat, melalui jalan politik yang digelutinya. Menurut beberapa sumber buku yang mengisahkan perjalanan politik Lukas Enembe, memberikan gambaran bahwa Lukas bukanlah sosok politisi dadakan, instan, dan karbitan, tetapi politisi karier yang memiliki rekam jejak yang panjang. Karena sejak muda, saat sebagai aktivis mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, ia sudah memikirkan orang banyak, terutama nasib orang Papua.
Menggumuli semua itu dalam proses perjalanan hidupnya, dengan melihat situasi Papua yang masih terbelenggu dengan masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, dan rasisme, Lukas bergegas untuk mengambil preferensi politik yang pasti untuk menjawab dan mengubah situasi yang tidak menguntungkan orang Papua tersebut.
Dengan melihat realitas hidup orang Papua yang serba kekurangan ibarat di tubir jurang, Lukas harus bersikap. Pria kelahiran Mamit, Distrik Kembu, Jayawijaya (kini Kabupaten Tolikara), 27 Juli 1967 itu tidak ingin terus tepekur dan meratapi sejarah penderitaan orang Papua ini.
Dia yakin bahwa tidak cukup menjadi aktivis untuk mengubah nasib negeri ini dalam negara ini. Tetapi hanya satu jalan yang harus ia ambil, yakni terjun dan menjadi bagian dari sistem, lalu ikut mempengaruhi segala sistem dan kebijakan yang tidak adil dan sengaja diciptakan serta dipelihara begitu lama, sejak Papua dimasukkan menjadi bagian NKRI, 1 Mei 1963.
Dari situ, maka nasib orang Papua akan mengalami perubahan dari satu sisi (menjadi manusia sejati yang seutuhnya, punya derajat yang setara dengan warga negara lain di “Nusantara” ini).
Untuk memutus segala mitos negatif yang menyelimuti orang Papua, baik kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan rasisme, Lukas Enembe harus memberanikan diri dan terjun dalam kancah politik kekuasaan. Ia memulai kariernya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya tahun 2001-2006 dan menjadi bupati di kabupaten yang sama kurun 2007-2012.
Tidak sampai di situ, Lukas mengepakkan sayap dan bergabung dengan Partai Demokrat sekaligus diangkat sebagai ketua DPD pada partai berlambang mercy besutan Presiden ke-4 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, di Provinsi Papua pada 2006. Di tahun yang sama, Lukas yang masih sangat muda mencalonkan diri sebagai Gubernur Papua melawan politisi senior Papua, Barnabas Suebu. Namun “dewi fortuna” belum memihak padanya. Ia kalah.
Pada 2013, Lukas kembali mencalonkan diri sekaligus memenangkan pemilihan gubernur dan dilantik pada April 2013. Dan ia kembali bertengger di kursi yang sama untuk periode kedua dalam pemilihan Gubernur Papua 2017.
Saat sebagai Gubernur Papua, Lukas mulai merealisasikan idealisme dan cita-cita yang diproyeksikan sejak muda untuk kebaikan dan kemajuan orang Papua. Dengan langkah berani, Lukas melakukan berbagai inovasi dan kebijakan spektakuler, seperti pembangunan di bidang infrastruktur, ekonomi, pembangunan pendidikan, kesehatan, sekaligus mengubah postur anggaran otonomi khusus 80 persen ke kabupaten dan 20 persen ke provinsi.
Lukas membangun sejumlah fasilitas publik, seperti RSUD Pratama Biak Numfor yang diresmikan 18 Mei 2017, kantor gubernur Papua, kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) 16 lantai, 5 ruang pelayanan di RSUD Kabupaten Mappi dan Jayapura, dan menyelenggarakan PON XX Papua sekaligus pembangunan sejumlah fasilitas stadion di Jayapura, Merauke, dan Mimika. Juga sejak 2014, melalui dana otonomi khusus, sedikitnya 500 anak-anak Papua dikirim belajar di berbagai negara, baik Amerika, Rusia, China, Australia, dan Selandia Baru.
Sejumlah terobosan yang dilakukan oleh Lukas untuk pembaruan Papua ini sebagai sesuatu yang baru dan tidak lazim dilakukan oleh para gubernur terdahulu di Papua.
Itulah secuil dari sederet torehan prestasi gemilang yang menjadi sumbangsih nyata Lukas Enembe dalam pembangunan di Papua. Ia bahkan berjuang merumuskan visi-misInya melalui kebijakannya yang diberi nama Otsus Plus–yang akan memberikan ruang yang besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola Otsus, sekaligus memberi dampak lebih dalam proses implementasi Otsus di Papua, termasuk penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.
Namun, hal itu tidak didukung oleh pemerintah pusat dan DPR untuk mengesahkan formula Otsus Plus menjadi sebuah regulasi, hingga membuat dirinya kecewa dan skeptis terhadap eksistensi Otsus di Papua.
Padahal, Otsus merupakan sebuah sarana efektif yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada orang asli Papua, untuk mengatur diri sendiri, tanpa diintervensi dan didikte oleh Jakarta, kecuali hak-hal tertentu yang memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, seperti hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, fiskal, dan moneter. Hal ini memberi pertanda bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam melaksanakan tawarannya berupa paket Otsus sebagai solusi politik dalam meredam aspirasi Papua merdeka.
Lukas memang berani dan kritis di masa krisis, penuh gejolak, dan disrupsi, untuk keadilan dan kemajuan Papua.
Lukas merupakan satu-satunya tokoh dan politisi Papua dalam kepemimpinan formal sebagai gubernur di Tanah Papua pertama, yang secara terang-terangan dan keras menyampaikan pendapat dan keprihatinannya tentang kondisi masyarakat Papua, seperti pelanggaran hak asasi manusia, inkonsistensi dalam pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, pembagian Papua menjadi tiga provinsi, ujaran rasisme yang menyulut gelombang protes masif di seluruh Tanah Papua pada tahun 2019.
Juga membatasi izin usaha eksplorasi dan eksploitasi tambang, termasuk meminta PT Freeport Indonesia membangun smelter di Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Bahkan di hadapan Presiden Joko Widodo, Enembe menegaskan bahwa masyarakat Papua menghendaki smelter dibangun di Papua. “Kalau tidak bangun di Papua, silakan keluar dari Papua, seluruh SDA di Papua, hutan, ikan, tambang, untuk kesejahteraan Papua, wajib hukumnya bangun di Papua,” kata Enembe (Merdeka.com, 30/1/2015).
Berbagai kebijakan dan sikap tegas Lukas ini justru mendapat serangan balik dan membuat dirinya hidup dalam ketidaknyamanan: dicurigai, dibuntuti, diteror, diintimidasi, dikriminalisasi, hingga ancaman pembunuhan. Hal ini dapat mereaktiviasasi ingatkan kita bahwa Neslon Mandela di Afrika Selatan, tidak disukai oleh negara (kolonial) karena tegas melawan politik apartheid. Lukas Enembe di Papua, dijauhkan oleh negara karena berani menentang politik rasisme.
Begitulah bukti kecintaan Lukas kepada orang Papua, dengan mewakafkan sebagian besar jiwa dan raganya demi membela kaum tertindas dan mengangkat hak-hak dasar orang Papua, tanpa memikirkan nasib dan jabatannya. Ia bersedia menjadi lilin yang habis dibakar untuk menerangi gulita ketidakadilan yang selama ini membelit masyarakat Papua.
Sikap heroisme itu berakar pada sebuah keyakinan Lukas bahwa kehilangan harta benda sama dengan tidak ada kehilangan apa-apa; kehilangan nyawa adalah kehilangan dari separuh hidup, tetapi kehilangan harga diri adalah kehilangan segala-galanya dalam hidup.
Enembe pernah menyampaikan pandangan yang cukup progresif dan impresif tentang perlunya perekatan dan soliditas orang Papua di tengah maraknya kebijakan politik Jakarta yang memecah-belah (devide et impera) orang Papua melalui pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota di Tanah Papua, yang mungkin bagi sebagian orang Papua menganggap Lukas sebagai tokoh nasionalis Papua terbaik.
“Perlu saya sampaikan bahwa ini akhir masa kepemimpinan saya (sebagai Gubernur Papua). Sebelum saya turun, harus ada sesuatu yang kita tinggalkan; baik perbuatan dan kata-kata, yang bisa ditiru oleh generasi akan datang. Kepada masyarakat Papua di seluruh Tanah Papua bahwa banyak persoalan yang harus diselesaikan, walaupun kita akan dipisahkan oleh banyaknya provinsi, kabupaten, dan kota, tetapi kesatuan Papua, dari Sorong sampai Merauke perlu dijaga,” kata Lukas Enembe.
Meski demikian, Lukas merupakan sosok pemimpin pluralis dan egaliter yang menjunjung tinggi perbedaan dan persamaan, seperti jargonnya yang terkenal, “Kasih menembus perbedaan.” Ia baik dan mengasihi semua orang yang hidup di Papua, tanpa membedakan suku, agama, rambut, warna kulit, maupun status sosial.
Peradilan sesat KPK
Ancaman nyata yang terakhir terhadap Lukas Enembe adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dirinya sebagai tersangka (14/9/2022) karena menerima suap dan gratifikasi 1 miliar rupiah oleh pengusaha Rijatono Lakka, yang bukti-buktinya dinilai ganjal dan penuh dengan kepalsuan yang membuat proses hukum atas kasus ini dianggap sebagai peradilan sesat (miscarriage of justice).
Misalnya, testimoni Prof. O.C Kaligis, dalam bukunya “Kasus Lukas Enembe: Murni Hukum atau Politik?” Ia menyatakan, di saat Lukas dijadikan tersangka, dengan berkas sejumlah 184 saksi, hanya 17 saksi yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ketujuhbelas saksi itu di bawah sumpah memberi keterangan. Mereka semua mengaku tidak pernah menyuap atau memberi gratifikasi kepada Lukas Enembe. Bahkan sebagian dari mereka tidak mengenal dan tidak pernah bertemu Enembe. Sebaliknya Lukas pun tidak pernah mencampuri urusan tender.
Hasil pemeriksaan BPK sepanjangan Enembe menjabat gubernur tidak ada temuan kerugian negara alias nihil, termasuk DPRP pun menerima pertanggungjawaban keuangan Enembe selaku Gubernur. Semua keterangan ahli keuangan, ahli BPK, ahli administrasi negara yang memberi pendapat di bawah sumpah yang membebaskan Enembe, sama sekali tidak menjadi pertimbangan JPU atau hakim.
O. C. Kaligis, pengacara kondang Indonesia yang setia membela Enembe di kursi pesakitan, menjelaskan bahwa hal yang lebih parah adalah pertimbangan hukum Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi yang menyebutkan, “Karena Hotel Angkasa, sekalipun dibeli oleh Lakka, sertifikatnya atas nama Lakka, tetapi karena pembeliannya di saat Lukas Gubernur, maka pendapat Hakim, Hotel Angkasa adalah milik Lukas.”
Dari uraian fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut, dapat disinyalir dan disimpulkan bahwa proses penegakan hukum terhadap mendiang Lukas Enembe, yang sekarat saat itu, adalah penuh rekayasa dan memiliki motif non yuridis alias politik.
Proses penegakan hukum terhadap kasus tidak sejalan dengan tujuan hukum, yakni mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Tidak ada fakta yang menyatakan Lukas bersalah hingga keadilan dan kepastian hukum harus ditegakkan, karena semua orang sama di hadapan hukum (the equality before the law).
Justru sebaliknya, Lukaslah yang menjadi korban atas penegakan hukum tanpa keadilan (law enforcement without justice).
Kemanfaatan juga tidak ada dalam penegakan hukum terhadap Lukas. Karena, masyarakat di Provinsi Papua, tidak merasa dirugikan oleh Lukas atas kasus yang dituduhkannya, karena semua pembangunan berjalan efektif, sebagaimana dapat dibuktikan dalam hasil pemeriksaan BPK yang nihil kerugian negara dan DPRP juga dapat menerima laporan pertanggungjawaban keuangan dari Lukas selaku Gubernur.
Bahkan perkembangan kesakitan Lukas yang makin parah pun tidak diperhatikan KPK, justru makin dipersulit. Permohonan pembataran yang diajukan oleh Lukas dan keluarga maupun oleh kuasa hukumnya termasuk rekomendasi Komnas HAM pun tanpa hasil yang maksimal. Lebih lagi, permintaan Lukas untuk berobat Singapura dengan dokter di sana yang telah 8 tahun menangani kesakitannya, pun tidak digubris.
Saat dirawat di RSPAD juga KPK sangat ketat menjaganya. Bahkan izin berobat pun Lukas harus menunggu lama melalui administrasi yang berbelit, misalnya, seharusnya keluar pukul 09.00 pagi WIB, baru bisa di sore hari menunggu kelengkapan administrasi KPK. Pihak KPK pun menyepelekan kesakitan Lukas, dengan lugas mengatakan bahwa sakit Lukas, sakit ringan tanpa perlu perawatan khusus (O.C. Kaligis: 29 Desember 2023).
Jika fakta berkata demikian, apa artinya Lukas yang tengah sakit akut saat itu harus diperhadapkan dengan pengadilan sesat KPK? Ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan dengan logika hukum, apalagi ilusi liar KPK. Jadi, Lukas dituduh koruptor oleh negara, melalui segelintir komisioner KPK, tetapi jutaan rakyat Papua yang tidak pernah merasa dirugikan oleh Lukas menganggapnya sebagai “pahlawan” sekaligus “emansipator” Papua, sebagaimana dalam ungkapan argumentum ad populum, kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas.
Karena di masa kepemimpinannya sebagai gubernur Papua, Lukas telah banyak melakukan emansipasi Papua, melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia Papua, untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, perbudakan, dan rasisme, serta bebas dan membangun diri sendiri seperti warga Indonesia lain.
Maka, melalui momentum meninggalnya Lukas ini, diharapkan KPK juga dapat sadar dan segera menyudahi segala intrik dan design opini buruknya tentang Lukas, sebagai koruptor. Sebab, sampai kapan pun, orang Papua tidak akan pernah percaya dan mengakui proses penegakan hukum dan keadilan di negara ini, termasuk KPK!
“Mereka yang sudah mati tidak bisa berteriak meminta keadilan. Adalah tugas mereka yang hidup yang menuntut keadilan untuk yang mati,” kata Lois Bujold, penulis Amerika. (*)
* Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Anggota Tim Advokasi dan Hukum mantan Gubernur Papua mendiang Lukas Enembe
Discussion about this post