Jakarta, Jubi – Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya, Ignas Kleden yang meninggal pada Senin, 22 Januari pukul 03.41 WIB di RS Suyoto, Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu meninggal dunia dalam usia 75 tahun.
Tidak hanya dikenal sebagai cendekiawan, Ignas juga dikenal sebagai sastrawan, sosiolog, dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia. Adik perempuan Ignas Kleden, Hermien Y Kleden ketika dikonfirmasi di Jakarta pada Senin, menyampaikan Ignas dirawat selama satu pekan di RS Suyoto, Jakarta Selatan, karena menderita gangguan ginjal.
“Beliau meninggalkan isteri, Dr. Ninuk Kleden – Probonegoro, antropolog dan anak tunggal, Dr. Paskal Kleden,” ucapnya.
Ia menyampaikan Ignas Kleden disemayamkan di Rumah Duka Carolus Lantai 8, Ruangan Mikael E, Salemba, Jakarta Pusat.
Kemudian, pelaksanaan Misa Requiem dan tutup peti yang akan dilaksanakan pada Selasa, 23 Januari 2024 pada 18.30 WIB dan Misa Pelepasan akan dilaksanakan pada Rabu, 24 Januari 2024 pada pukul 10.00.
Sejumlah sahabat Ignas turut menyampaikan kabar duka, salah satunya penulis Goenawan Mohamad melalui akun X miliknya.
“Ignas Kleden meninggalkan kita. 1948-2024. Percikan perenungannya adalah cahaya,” kata Goenawan di akun @gm_gm, Senin.
Selain itu, Ekonom Chatib Basri melalui akun X juga menyampaikan duka yang mendalam atas berpulangnya Ignas Kleden.
“Kehilangan seorang kawan dan guru, Ignas Kleden. Seorang filsuf, cendekiawan par excellence. Kawan diskusi di Yayasan Padi Kapas. Dari Ignas saya belajar melihat cakrawala yang lebih luas di luar ekonomi.. Ketika seseorang meninggal, yang tinggal adalah pemikiran dan gagasannya. Selamat jalan Bung. Kita bertemu lagi dalam pemikiran dan gagasan,” tulis akun @ChatibBasri.
Ignas menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ignas juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
Ia sempat pula bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta.Tahun 2000 ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.
Ketika masih tinggal di Flores, ia sudah mengenal majalah Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan tulisannya ke majalah itu. Dia juga menulis artikel di majalah Budaya Jaya Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah Tempo.
Setelah hijrah ke Ibu Kota, pada tahun 1974 ia makin aktif menulis, baik di majalah maupun jurnal, dan menjadi kolumnis tetap majalah Tempo. Esainya mengenai sastra dimuat di majalah Basis, Horison, Budaya Jaya, Kalam, harian Kompas, dan lain-lain.
Buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya, “Simbolis Cerita Pendek”.
Kumpulan esai tentang perbukuan, Buku dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan”.[2] Buku kumpulan esainya adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004).
Ia menulis kata pengantar untuk Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995). Tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie.
Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya. (*)