Jayapura, Jubi – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai Undang-Undang Cipta Kerja bekerja melayani modal atau korporasi ekstraktif dan oligarki, serta melegitimasi bentuk kebijakan pembangunan rasis terhadap Papua. Papua dianggap ‘tanah kosong’, ‘tidak produktif’, sehingga layak dieksploitasi oleh korporasi.
“Ini dapat dilihat dalam kasus masuknya korporasi kehutanan PT Hutan Hijau Papua Barat di wilayah adat suku Moi, Sorong yang akan mengeksploitasi hutan seluas 92.148 hektar. Kemudahan memonopoli Tanah Papua adalah berkat dari UU Cipta Kerja kluster Kehutanan dan PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Kehutanan yang menyebut dalam Pasal 151 penguasaan luas tanah di Papua dapat diberikan lebih luas dari daerah luar Papua yakni 100 ribu hektar,” kata Koordinator Yayasan Pusaka, Frangky Samperante, melalui siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Rabu (4/10/2023) malam.
Pusaka mengutip Gellert (2019), bahwa pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan bentuk bekerjanya watak rezim hukum pembangunan UU Cipta Kerja yang berlandaskan kolaborasi rezim ekstraktif multikomoditas, dengan rasisme yang menyejarah atas Papua.
Mahkamah Konstitusi atau MK, Senin lalu, 2 Oktober 2023, memutus perkara Judicial Review (uji formil) UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang diajukan oleh 15 kelompok serikat buruh dengan putusan “menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya” dan menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.
Yayasan Pusaka menilai putusan ini menunjukkan bahwa MK tidak bisa lagi dipandang sebagai the guardian of constitution atau penjaga konstitusi, tetapi beralih menjadi the guardian of the extractive regimes, penjaga tegaknya rezim penguasa yang membentuk hukum untuk melayani kepentingan modal, yang mengekstraksi tenaga kerja rakyat dan sumber-sumber agraria di Indonesia.
Menurut Yayasan Pusaka, seharusnya empat hakim konstitusi yang mengambil posisi berbeda dalam dissenting opinion-nya cukup menjadi alasan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib menerima gugatan uji formil tersebut.
“Namun penolakan gugatan uji formil ini semakin menguatkan kritik publik bahwa Mahkamah Konstitusi kini tidak bekerja di bawah prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi, melainkan tunduk pada maunya rezim penguasa. Publik berhak mencurigai ada pengaruh tak terlihat (penguasa tertinggi negara) yang menyebabkan hakim MK tidak menerima gugatan tersebut,” kata Frangky.
Frangky Samperante mengatakan argumen penolakan MK juga menunjukkan jauhnya hakim MK (terutama yang dekat dengan penguasa) dari argumentasi yang layak dan berdasar pada penalaran hukum yang kritis dan berpihak pada keadilan sosial. Misalnya, tentang kegentingan memaksa dan partisipasi publik bermakna (meaningful participation), hakim MK hanya membenarkan semata tanpa menunjukkan argumen kritis berdasarkan fakta sosial masyarakat yang justru banyak sengsara karena tanah dan hutannya diduduki oleh korporasi ekstraktif SDA akibat operasi UU Cipta Kerja.
“Bagaimanapun wajah UU Cipta Kerja sebagai konstitusi pembangunan yang berfungsi sebagai infrastruktur hukum yang menjadi kerangka kerja beroperasinya pasar nampak jelas dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja. Misalnya Naskah Akademik RUU Cipta Kerja menjelaskan peranan hukum yang diposisikan sebagai instrumen pendorong pembangunan ekonomi, “Infrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum memberikan keamanan, kepastian, dan prediksi atas investasi para investor.”
Pasalnya, sejak awal pembentukannya UU Cipta Kerja dijiwai oleh hukum pembangunan, yang berfungsi untuk memberikan kepastian hukum, agar arus modal dapat masuk tanpa hambatan apapun. Hambatan ini, kata Frangky, dapat dimaknai lebih luas, baik hambatan dari regulasi yang memproteksi hak-hak dasar masyarakat dan lingkungan atau sumber-sumber agraria, maupun hambatan birokrasi negara yang menghambat perizinan.
Oleh karena itu, penyingkiran hambatan berarti penciptaan kemudahan bagi modal dilakukan melalui pelemahan regulasi lingkungan hidup dan regulasi ketenagakerjaan, penciptaan fleksibilitas regulasi kehutanan, dan tata ruang serta penguatan regulasi penanaman modal.
Samperante mengatakan MK dalam putusannya yang menolak keseluruhan gugatan pemohon tidak bisa lagi dipandang secara kasat mata sebagai penalaran hukum semata. MK tak lagi sebagai kekuasaan kehakiman yang independen penjaga marwah konstitusi, MK lebih pantas sebagai penjaga status quo rezim hukum anti konstitusi.
“Rezim hukum pembangunan UU Cipta Kerja adalah produk hukum yang secara sosial ilegal karena faktanya merugikan, membahayakan dan menyengsarakan rakyat dan lingkungan,” ujarnya.
Dia menyebut legalitas UU Cipta Kerja harus cukup dipandang formal negara karena faktanya dibentuk oleh pemerintah dan DPR yang dihuni oleh politisi cum pebisnis ekstraktif SDA untuk agenda pengamanan bisnisnya. (*)